Kemauan untuk terus belajar, termasuk kepada anak-anak muda, mengenalkan Sapardi Djoko Damono kepada Ed Sheeran dan kata ”ciyus”. Soal sajak-sajaknya yang dikenal luas, dia selalu bilang, ”Ah, itu karena dilagukan Ari-Reda.”
INDRIA P., Surabaya-M. HILMI S., Jakarta, Jawa Pos
DIA sengaja berdiri paling belakang dalam antrean. Di ujung sana, sang penyair besar tengah sibuk membubuhkan tanda tangan di atas buku kumpulan puisinya yang baru saja diterbitkan.
”Buat siapa ini?” tanya sang penyair sembari menatap kedua buku yang disodorkan pria yang antre paling belakang tersebut, bersiap menandatanganinya. ”Buat saya, Pak, Aan Mansyur,” jawab pria itu.
Si penyair langsung menatap pemuda itu, meletakkan kedua buku tadi, berdiri, dan seketika memeluk Aan. ”Itulah pertemuan langsung pertama saya dengan Bapak. Beliau begitu humble, saya sangat tersentuh,” kata Aan, penulis buku kumpulan puisi Tidak Ada New York Hari Ini tersebut.
Bapak adalah panggilan hormat Aan kepada Sapardi Djoko Damono, penyair legendaris yang karya-karyanya telah dia baca sejak masih duduk di bangku SMP. Sebelum pertemuan seusai peluncuran buku Kolam karya Sapardi pada 2009 di Jakarta itu, keduanya bertemu lewat sambungan telepon.
Itu juga pertemuan yang tak akan pernah dilupakan Aan. Membuatnya makin hormat kepada kerendahhatian sang idola.
Pada 2005 itu, Aan sedang tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur. Puisi kiriman penyair kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 38 tahun lalu tersebut baru saja terbit di sebuah surat kabar Jakarta.
Koran itu sampai di Kalimantan sore hari. Siangnya seseorang meneleponnya. Suara dari seberang sana menyapanya begitu hangat.
”Ini Aan Mansyur, ya? Selamat ya. Saya membaca sajak karya Anda dan saya menyukainya,” kenang penulis buku Melihat Api Bekerja itu tentang telepon dari Sapardi tersebut.
Sapardi yang berpulang dalam usia 80 tahun pada Minggu lalu (19/7) itu, barangkali, adalah penyair Indonesia yang karya-karyanya paling banyak dibaca. Karya-karyanya melekat mulai di buku-buku pelajaran sampai undangan pernikahan.
Aan mengenalnya sewaktu guru bahasa Indonesia semasa SMP, saat menilai tugas puisinya, mengatakan bahwa karyanya mirip dengan puisi-puisi Sapardi. ”Saya lantas berkenalan dengan karya-karya Bapak. Dan, memang kemudian beliau banyak memengaruhi karya saya,” katanya.