Itulah cara lelaki itu menikmati masa pandemi Covid-19 yang tidak boleh bepergian ke mana-mana. Sejak Maret 2020 dia tak pernah pergi ke luar kota. Dia tak bisa jalan-jalan menikmati wisata yang merupakan hobinya. Dia tak bisa mudik menengok ibunya di kampung halamannya. Dia tak bisa reuni dengan teman-teman sekolah dan kuliahnya. Dia tak bisa menengok anaknya yang kuliah di Surabaya. Dia tak bisa mengikuti wisuda anaknya di Jogjakarta. Untung ada benda yang namanya HP, handphone. Benar juga kalau ada yang berkata bahwa HP sudah menjadi separuh jiwa. Kalau tertinggal atau hilang, rasanya ada yang tak lengkap di tubuhnya he..he..
Pada masa pandemi, dia tidak ingin menyalahkan kegelapan. Dia hanya ingin menyalakan lilin untuk menerangi dirinya. Syukur bisa juga orang lain. Keadaan juga belum jelas sampai kapan akhirnya. Korban sakit dan meninggal sampai sekarang belum ada redanya. Belum diketahui obatnya. Satu-satunya cara hanya menunggu ditemukan vaksin sebagai pencegah virus itu menyerang. Sudah ditemukan oleh beberapa negara dan tinggal mencobanya. Kabarnya pemerintah sudah membeli 50 juta ampul dan siap dipakai mulai November nanti.
Siang, lelaki itu hanya salat Zuhur sendiri di ruangannya. Ada pembatasan fisik dan sosial sebagai kelanjutan dari protokol kesehatan yang harus diikutinya. Masjid juga sudah lebih dari sebulan tutup. Tak ada aktivitas salat jamaah dan pengajian di rumah ibadah. Dia masih duduk tepekur. Dia zikir panjang mengetuk pintu-Nya. Dia panjatkan doa sebisanya. Di antaranya, jauhkan dari penyakit, termasuk virus ini. Lindungi kawan-kawan dan saudaranya dari pandemi. Semoga pandemi cepat berlalu dan masyarakat menggeliat lagi menemukan dunianya.
Dia ingat kata-kata bijak, “Kalau di sekitar ada badai maka kamu tidak boleh berhenti. Kalau kamu berhenti akan tidak nyaman suasananya. Kamu harus berjalan terus sampai melewati badai itu. Kalau mau berhenti dan badai sudah pergi akan lebih nyaman.” Dia ingat pesan temannya yang belajar NLP (neuro-linguistic programming) bahwa kalau sudah terjadi itu berarti Tuhan sudah ridho. Tidak ada kata lain selain menerimanya. Begitu juga corona dan sudah terjadi harus diterima. Maka dia harus terima dan belajar ikhlas. Dia harus sabar menerimanya sambil berusaha mencegahnya.
Dia memejamkan mata dan menerawang dalam biliknya. Masih banyak rencana di kepala. Matahari siang masih ramah menyapa. (Bontang, 2020)
*) SUNARYO BROTO, karyawan Pupuk Kaltim, Bontang. Menyukai sastra dan menulis beberapa buku puisi, cerpen, esai. Pada 2019 menerima nominasi penggiat literasi Kaltim Kaltara dari Kantor Balai Bahasa Kaltim.