“Saudari Jamilah, Anda ditahan sehubungan kasus 30 September,” ujar salah satu lelaki berseragam itu.
“Apa Maksud Bapak? Saya baru saja bekerja di sini. Saya cuma pembantu!”
“Anda bisa menjelaskan hal itu di persidangan, sekarang Anda ikut kami!”
Di perjalanan, Jamilah sempat melihat lelaki yang membawanya untuk bekerja di asrama wanita itu sedang duduk di warung kopi sambil memerhatikan rombongan pasukan penangkap wanita itu. Jamilah kembali berteriak.
“Bapak, Bapak, tolong Jamilah ditangkap!” teriaknya sambil menangis dengan suara yang telah parau dan serak. Kerongkongannya telah kering tetapi teriakannya sia-sia saja. Lelaki itu hanya asyik menyeruput wedang kopi hitam nan kental.
Bentakan salah seorang pria berseragam menghentikan teriakan Jamilah.
“Diamlah wanita sadis! Kowe penari 'Harum Bunga' itu kan? Kau sudah menyileti kelamin lelaki abdi negara dan kini kau berteriak-teriak minta dibebaskan, sungguh memalukan!”
Esok pagi di hampir seluruh media koran dan radio, panglima tertinggi mengungkapkan dalam pidatonya tentang sekelompok wanita yang telah melakukan kejahatan. Panglima tertinggi itu mengatakan bahwa kaum wanita yang tergabung dalam kelompok Djanji Joeang tidak mencerminkan sebagai wanita yang seharusnya mendidik keluarga, memegang kesetiaan terhadap bangsa, agama dan negara, sehingga layak dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya. Generasi muda kita harus diselamatkan agar tidak terjerumus ke dalam kerusakan moral kaum kontrarevolusioner.
Sementara di dusun kaki Gunung Semeru, Abah mendengar seruan panglima tertinggi itu dari sebuah radio suak milik kepala dusun. Ia tak pernah menyangka putrinyalah salah seorang wanita yang dimaksud oleh Sang Panglima.
Semenjak itu, Mbok Pinah dan Abah tak pernah memeluk kembali gadis kesayangan mereka yang telah dipenjarakan dan mendapat perlakuan seburuk entah. Ada banyak Jamilah lain yang tertangkap dengan tuduhan serupa kala itu. Genosida, bukanlah imajinasi belaka. (far/k16)
(mengenang peristiwa 30 September 1965)