Nilai fiksinya akan lebih nyata jika tokoh cerita dibuat lebih antagonis, alur cerita lebih berkelok, atau akhir cerita dibuat tragis. Seandainya tokoh Gita diceritakan lebih fiksi lagi bukan seadanya Gita, maka kisah cinta Aku dan Gita akan sangat berwarna dengan konflik yang membuat pembaca lebih bergolak.
Seandainya tokoh Kristina nekad pindah ke Indonesia lagi atau tokoh Aku yang terus mengejar cinta Kristina pasti akan banyak konflik yang membuat cerpen lebih hidup. Pembaca “gemas” dengan tokoh aku yang terkesan “pasrah” dengan nasib cintanya. Mengapa tak diperjuangkan! Tetapi itu semua tidak terjadi karena Sunaryo “belum berani” membelokkan cerita menjadi lebih fiksi.
Mungkin di karya-karya selanjutnya pengarang harus lebih berani keluar dari gaya seadanya itu. Bisa dibayangkan jika ide cerita seorang Sunaryo Broto lebih liar. Kemampuan mendeskripsikan secara detail bisa sangat membantu menghidupkan cerita apalagi ditambah dengan alur cerita yang bergejolak dan konflik yang tajam.
Hal itu terjadi karena pengarang menceritakan apa adanya seada-adanya. Kurang sedikit bumbu-bumbu penggunaan majas atau gaya bahasa agar lebih nyastra. Untuk sebuah fiksi, cerpen-cerpen Sunaryo terlalu datar, kurang ekstrem. Jarang sekali ada konflik, kalaupun ada hanyalah konflik batin yang jauh tersembunyi di dalam hatinya yang akan dinikmatinya sendiri tak ingin dibagikan.
Sebuah karya yang kuat adalah yang penting sekaligus menarik. Artinya, memiliki sisi positif dan negatif sekaligus. Sisi negatif suatu kutub dapat diimbangi dengan meningkatkan sisi positifnya. Pengarang berada di antara kutub-kutub yang berlawanan. Dia menjadi semacam poros (Utami, Ayu: 30).
Ide cerita dalam buku ini terlalu konkret dan logis karena bersumber dari kisah nyata sehingga harus dicarikan sebuah kejutan-kejutan agar cerita menjadi tidak mudah ditebak atau agar tidak membosankan.
Jika unsur intrinsik alur dan penokohan kurang kuat, maka masih ada unsur intrinsik yang menjadikan kekuatan buku ini, yaitu latar cerita dan amanat. Pengarang sangat apik mendeskripsikan semua latar cerita dalam cerpen ini. Terasa hidup dan nyata. Pembaca seakan dibawa berpetualang mulai desa di Indonesia hingga Amerika. Kita dibawa traveling mengenal sandal, minyak wangi, buku, lukisan, candi, hingga tukik Sangalaki.
Nilai-nilai moral, religius, sosial, pendidikan, dan budaya yang terkandung di dalam buku ini sangat dalam. Putu Wijaya mengatakan, cerpen yang bagus adalah cerita yang menyajikan pengalaman batin penulisnya dan memberikan pengalaman batin kepada pembacanya.
Seorang Sunaryo Broto telah berhasil menyaripatikan perjalanan kehidupannya dan dibagikan kepada pembacanya dengan tulus. Setiap perjalanannya selalu ada hikmah yang disadarinya betul bahwa itu semua telah menjadi bagian dari garis kehidupan yang harus disyukuri dan telah ditentukan oleh Yang Mahakuasa.
Salam hormat untuk Bapak Sunaryo Broto, guru saya. (***/dwi/k8)