BALIKPAPAN - Pengorbanan tidak kalah berat harus dijalani perawat RS Dr Kanujoso Djatiwibowo (RSKD) Balikpapan. Mereka adalah Daliana, Rani, dan Imah yang harus rela tinggal berpisah dari keluarga. Sebagai perawat ruang isolasi, beban dan pengorbanan itu harus mereka bayar.
Selama pandemi, mereka berdiam diri tinggal di mess milik rumah sakit sejak 19 Maret. Saat itu kali pertama ada kasus positif di Kota Minyak. Pilihan ini sulit namun harus mereka jalani demi waspada dan antisipasi. “Kita tidak bolak balik ke rumah dalam kondisi seperti ini,” sebut Rani.
Sementara Daliana bercerita kesulitan yang dia rasakan pada momen awal bertugas. Ketika tahu ada pasien di Balikpapan, seluruh teman sesama perawat ikut sedih dan menangis. “Bingung mau ngapain dan hanya nangis. Kita mau mundur juga tidak mungkin karena sudah kontak dengan pasien,” ucapnya.
Dia menambahkan, sebenarnya sehari-hari memang mereka bertugas di ruang isolasi. Namun kewaspadaannya memiliki tingkat lebih tinggi dibanding penanganan pasien biasa. Jadi ketika tahu ada kasus rasanya panik. “Sayar rasa blank. Kita tidak pernah terbayang ada kasus ini sampai di Balikpapan,” tutur Imah.
Setelah menjalani dan seiring berjalan waktu sudah mulai terbiasa. Mereka saling berbagi cerita dan hiburan. Misalnya saat ada waktu luang dilakukan olahraga bersama baik aerobik, bulutangkis, hingga panahan. Semua dilakukan untuk mengisi waktu agar tidak terasa begitu panjang.
‘”Tugas sif selama delapan jam, setelah masuk harus mandi sampai mess mandi lagi sampai tidak terhitung sehari bisa berapa kali mandi,” ujarnya. Kemudian saling cek kondisi tubuh dengan thermometer gun ketika tiba di mess. Rani membenarkan bagaimana perjuangan perawat saat bertugas.
Ketika harus menggunakan APD yang berlapis-lapis, baju berlapis, masker berlapis, kacamata google, dan sepatu booth. Tidak mudah harus pakaian empat lapis dari baju dinas, baju operasi, baju hazmat, dan cover all. “Rasanya kalau sudah keluar dari tugas di ruang isolasi ini lelah luar biasa, lemas, dan lapar,” bebernya.
Keringat bercucuran dan kepanasan harus menggunakan baju berlapis. Namun selain masalah lelah tenaga dan pikiran, tentu pengorbanan yang terasa paling berat adalah berpisah dengan keluarga dan anak. Mereka semua tidak pernah jauh dari anak atau berpisah dan tidak serumah. Buah hati mereka rata-rata masih usia kecil.
Salah satu momen sedih ketika Daliana tidak bisa merayakan hari ulang tahun buah hatinya yang ke 3 tahun beberapa waktu lalu. Dia tidak bisa menemani dan merayakan bersama. “Saya pesan saja beli kue untuk diantar ke rumah. Cukup tahu anak sehat di rumah saja rasanya sudah senang,” ucapnya sedih.
Sementara Rani menuturkan, setiap kali rindu sang anak mungkin hanya bisa video call. Namun jika sering video call, justru terkadang membuat hati semakin sedih melihat anak yang merengek dan mengatakan rindu ibunya. Sehingga anak hanya ditinggal bersama suami.
“Kepikiran tugas anak karena dia sudah mulai belajar di rumah. Untungnya guru mengerti kalau saya tidak bisa mendampingin anak belajar karena pekerjaan ini,” bebernya. Begitu pula dengan Imah, setiap kali bicara tentang anak dia meneteskan air mata.
Belum lagi sang suami berada di lokasi pekerjaan tidak boleh pulang. Anak terpaksa harus titip ke mertua atau adik yang bisa bantu menjaga. “Rindu banget dengan anak, tapi coba jalani saja bersama dan senyum saja,” ujarnya. Apalagi dia belum tahu sampai kapan kondisi ini terjadi.
Bagaimana pun perawat harus bisa menguatkan pasien. Meski perawat sesungguhnya juga merasakan sedih dan harus bisa melawan itu. Bahkan pasien juga saling mengingatkan dan beri semangat. Mereka menjadi akrab dengan pasien ibarat keluarga.
Dia sebagai perawat juga selalu berusaha membantu memenuhi keinginan pasien selama isolasi. Sebab hanya mereka yang bisa bertemu pasien. “Kita jadi perawat, pramusaji, apapun bantu keinginan mereka. Jadi perawat serba bisa, setiap ada keinginan mereka kita berusaha memenuhi,” jelasnya.