“Pilkada serentak sudah dilangsungkan 9 Desember 2020 lalu. Hari ini secara resmi pasangan nomor urut 2 menolak hasil rekapitulasi surat suara dan mengajukan gugatan ke MK.”
Kutekan tombol remote televisi, berpindah ke channel lain. Akhir-akhir ini tema yang diusung tak jauh dari politik. Siaran radio pun begitu. Apalagi headline utama dari tiap lembar harian surat kabar yang setiap pagi tergeletak manja di pelataran rumah.
Bosan. Kualihkan tatapan mata ke arah gawai. Isi beranda platform media sosial pun menyajikan hal serupa. Pilkada telah usai, tapi genderang perang masih berkobar. Perang kata-kata, menyanjung tokoh pilihan sembari menjatuhkan lawan dengan ujaran kebencian dan kata-kata bernada kasar.
Rasa muak menumpuk tatkala dua orang mengenakan pakaian putih dengan kopiah hitam yang santun menelungkupkan kedua tangan memohon doa restu karena telah menang. Tak adakah orang selain mereka yang mencalonkan diri menjadi kandidat pimpinan bangsa ini?
“Kenapa, Bang? Masih tidak terima dengan hasil kemarin. Masih setuju dengan pilihan golput?”
Istriku menyuguhkan secangkir kopi. Kuhirup sedikit, dan seperti biasa rasa sesakku perlahan menjauh.
“Golput juga pilihan, Rin. Memilih untuk tidak memilih. Bukankah itu adalah hak asasi yang juga dilindungi undang-undang?”
Sosok yang telah setia mengarungi lima tahun bahtera pernikahan denganku itu mengangguk sembari tersenyum. Melihatnya batinku terasa sejuk, kegamanganku sempurna telah hilang bersama semilir angin pagi yang bertiup.
“Bayangkan, Rin. Sudah ada 300 kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi sejak pilkada langsung dicetuskan pada 2005 lalu. Salah satunya daerah kita, masa dia kembali mencalonkan diri? Untung saja tidak menang.”
Ini adalah kali ketiga bagiku untuk tidak menggunakan hak pilih secara benar. Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku tetap menuju tempat pemungutan suara. Membuka kertas suara di dalam bilik. Sayangnya tak kucoblos satu pun gambar ataukah angka yang tertera sebelum kembali melipatnya dengan rapi dan memasukkannya ke dalam kotak. Bila ada surat suara yang batal saat penghitungan, kupastikan bahwa salah satunya adalah sumbangsih ciamik yang kusajikan dan sengaja kulakukan.
***
“Semir, Om?” tegur seseorang mengagetkanku di dekat halte bus.
“Enggak, Dik,” tolakku seramah mungkin.
Ia mengangguk, tapi senyumnya lirih. Rasa tak enak muncul hingga kupanggil ia kembali sebelum punggungnya telanjur menjauh. Lagi pula, armada keberangkatanku menuju kantor masih 10 menit lagi bergerak dari pangkalan.