Kinerja lapangan usaha pertambangan Kaltim mengalami perbaikan pada triwulan IV 2020. Namun, sektor ini dinilai sulit mengulang kejayaan. Terlihat dari penurunan harga batu bara acuan (HBA) sebesar USD 3,3 per ton pada Maret lalu, menjadi USD 84,49 per ton.
SAMARINDA – Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi mengatakan, penurunan harga ini dipengaruhi lesunya konsumsi listrik di Tiongkok sehingga berdampak pada minimnya permintaan batu bara ke negara tersebut.
"Setelah berakhirnya perayaan Tahun Baru Imlek dan menjelang berakhirnya musim dingin, konsumsi listrik di pusat-pusat bisnis Tiongkok mulai lesu," ujarnya, baru-baru ini. Penurunan konsumsi listrik juga dibarengi dengan kebijakan untuk meningkatkan produksi batu bara domestik di negara-negara tujuan ekspor.
"Baik Pemerintah Tiongkok dan India mendorong peningkatan produksi batu bara dalam negeri untuk mengimbangi kebijakan relaksasi impor batu bara kedua negara tersebut," sambungnya.
Penurunan HBA ini merupakan kali pertama dalam lima bulan terakhir setelah mengalami kenaikan cukup signifikan akibat tekanan kuat pandemi Covid-19, yaitu Oktober 2020 (USD 51/ton), November 2020 (USD 55,71 per ton), Desember 2020 (USD 59,65 per ton), Januari (USD 75,84 per ton), dan Februari (USD 87,79 per ton). "Setelah hampir setengah tahun mengalami reli, HBA terjadi koreksi," terangnya.
Pengamat Pertambangan Batu Bara Kaltim Eko Priyatno mengatakan, sejak jatuhnya pertambangan beberapa tahun lalu sektor ini sulit mengembalikan kejayaan. Apalagi masih belum ada peningkatan yang signifikan bagi dunia pertambangan. Penurunan habis-habisan saat awal pandemi dibarengi banyaknya penutupan di berbagai negara menyulitkan kinerja ekspor.
Penurunan itu juga membuat kinerja pertambangan Kaltim masih minus 4,35 persen pada triwulan IV 2020. Namun lebih baik dari triwulan sebelumnya yang minus 6,67 persen (yoy). Begitu juga produksinya, terjadi peningkatan namun masih kontraksi. Pada akhir 2020, produksi batu bara Kaltim tercatat mengalami kontraksi 1,28 persen (yoy), jauh lebih baik dibandingkan triwulan sebelumnya yang terkontraksi 22,67 persen (yoy).
“Sebenarnya terjadi peningkatan, namun efeknya tidak signifikan. Seperti pada awal 2021 ini harga batu bara sangat baik, tapi tidak bisa dimanfaatkan dengan baik,” katanya, Selasa (15/3).
Menurutnya, sejak pertengahan 2020 harga batu bara sudah meningkat. Tapi kembali lagi, karena serapannya sejak awal tidak terlalu banyak maka pengaruhnya juga tidak signifikan. Demand batu bara tidak meningkat cukup banyak sehingga harga yang tinggi ini tidak bisa dimanfaatkan sebagai momen yang baik.
Secara keseluruhan pada 2020 lapangan usaha pertambangan mengalami kontraksi yang cukup dalam, sejalan dengan menurunnya produksi batu bara akibat lesunya permintaan negara tujuan ekspor utama akibat pandemi Covid-19. “Sebenarnya pada awal tahun ini kinerja pertambangan bisa lebih baik, sebab permintaan meningkat bersamaan dengan harga yang tinggi, namun tertahan produksi yang lemah,” tuturnya.
Dia menjelaskan, pada awal 2021 kinerja pertambangan seharusnya bisa tumbuh lebih baik. Hal tersebut didorong oleh harga batu bara yang tumbuh cukup tinggi di awal 2021. HBA tercatat berada di level USD 87,79 per MT, dan merupakan level harga yang tertinggi semenjak Mei 2019. HBA tersebut kembali tumbuh positif sebesar 31,25 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat 15,03 persen (yoy).
Tingginya harga bersamaan dengan permintaan yang juga terjadi peningkatan, bersumber dari peningkatan permintaan batu bara dari Tiongkok dan India seiring musim dingin yang lebih panjang. “Namun peningkatan tersebut tertahan oleh curah hujan yang tinggi. Sehingga kinerja pertambangan kembali tertahan. Sektor ini selalu memiliki kendala sehingga sulit untuk kembali seperti dulu,” tegasnya.
Sementara itu Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyambut baik keputusan pemerintah mengeluarkan limbah batu bara atau fly ash and bottom ash (FABA) dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).