"Ya, jelas cantik. Dulu kan dia seorang pelacur," lelucon petugas lainnya.
"Seorang pelacur itu orang yang paling berani. Bahkan dia sembunyikan ketakutan dan kesepiannya di bawah lapisan-lapisan riasan wajahnya sendiri," percakapan-percakapan dua petugas yang sesekali melihat ruangan Rinjani dan seorang perempuan di dalamnya yang dirundung kesedihan.
"Aku jadi ingat, dua hari yang lalu dia untuk pertama kalinya berbicara. Dan kamu tahu, dia meminta lipstik kepadaku. Ah sebentar aku membelikannya dan kusimpan di lemari ruang ganti. Sebentar, sebentar aku akan kembali".
Petugas itu meninggalkan obrolan dengan langkahnya yang sedikit berlari untuk mengambil lipstik keinginan Rinjani. Setelah mengambilnya dari ruang ganti, petugas itu memberanikan diri memberikan kepada Rinjani yang tengah hampa di balik jendela itu. Pandangannya kosong, ia hanya menatap sebuah sepi yang sudah sering kali hinggap di tubuhnya.
"Rinjani, aku membelikan lipstik yang kamu mau. Aku membelikan ini dengan uangku sendiri, aku yakin ini sangat cocok untukmu."
Awalnya Rinjani tidak menggubris kedatangan petugas itu. Tetapi berubah ketika petugas itu mengeluarkan benda kecil yang menjadi kesenangan Rinjani sejak lama. Apakah Rinjani merindukan dirinya dengan solekannya yang membangunkan gairahnya sebagai perempuan?
Tanpa ragu Rinjani mengambil lipstik itu, mengeluarkan tangannya yang halus dari balik jendela besi itu. Petugas itu terlihat tersenyum, Rinjani akhirnya ingin berinteraksi dengan orang di luar dirinya sendiri.
"Aku tidak gila, aku hanya ingin selalu cantik," suaranya pelan. Ia tenggelamkan wajahnya sangat hati-hati, ia tersenyum kecil. Terlihat jelas seorang anak perempuan yang lembut dan halus masih bersarang di sana.
"Tidak ada yang mengatakan kamu gila. Keadaanmu sedang tidak sehat saja Rinjani, itu kenapa kamu perlu dirawat di sini. Lagi pula semua orang di dunia ini sakit, hanya mereka tidak seberani kamu untuk mau dirawat," sebuah jawaban yang seolah menenangkan hati Rinjani.
Rinjani beranjak menuju tempat tidurnya, lipstik itu digenggamnya sangat erat. Ia seolah acuh tak acuh dengan jawaban petugas itu.
Malam menjadi sangat sepi, hujan di luar sana sebentar berhenti dan meninggalkan gigilnya. Di sini orang-orang hidup penuh kehati-hatian, tidak ingin membangun luka karena khawatir tidak akan pernah pulih seperti semula. Beberapa orang hidup di atas lukanya sendiri. Perempuan yang menanam benih dan laki-laki meninggalkan kerak di dalamnya. Mungkinkan Rinjani adalah beratus perempuan lain dengan segala wujudnya? (***/dwi/k8)