Fendik mengantongi uang Rp 50 ribu sehari dari hasil memecah batu. Penghasilan itu memang lebih sedikit jika dibandingkan sebelum bencana awan panas guguran (APG) Semeru menerjang. Sebab, kini dia dan rekan-rekannya masih bekerja setengah hari. Paling lama pukul 11.00. Lebih dari itu, nekat menambang akan berisiko tinggi. Apalagi jika tetap nekat berada di sungai ketika awan mendung mulai memayungi Semeru. Mereka bakal bergegas naik ke kampung dan meninggalkan area tambang. Sebab, risiko banjir bandang bisa setiap saat menghampiri.
Ya, kini bukan acuan waktu yang membuat para penambang berhenti. Melainkan ”kode” alam. Mata harus sesekali melihat ke atas dan menajamkan pendengaran untuk menangkap perubahan cuaca. Jika terdengar suara bergemuruh dari atas, tandanya mereka harus cepat angkat kaki.
Area tambang yang mereka gunakan untuk mengais rezeki memang terhitung dekat dengan gunung setinggi 3.676 meter di atas permukaan laut tersebut. Kondisi tanah tempat mereka berpijak juga bukan tanpa bahaya. Waktu hari pertama kembali menambang, batu yang tertimbun tanah masih terasa anget. Tak jarang masih panas.
”Itu tangannya sampai merah karena memegang batu yang masih panas,” ungkap Mustakim, penambang lain, menunjuk rekannya. Dia juga merasakan panasnya batu itu. Padahal, terjangan APG terjadi dua bulan silam.
Namun, di sisi lain, Semeru tetaplah bermurah hati. Setelah bencana, gunung tertinggi di Jawa itu memberikan ”kompensasi” bagi para warga yang menggantungkan hidup dari menambang batu dan pasir. Guguran lava membawa pasir dan batu melimpah.
Sebelum Semeru meletus, para penambang harus menggali tanah dengan alat berat untuk mendapat batu besar. Kini batu tinggal pilih saja. Dipecah sesuai dengan selera, lalu tinggal dimasukkan ke truk. Kerja pun jadi cepat. ”Sekarang tinggal ambil batunya,” kata Mustakim. (*/c14/ttg)