Operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang menyeret bupati Penajam Paser Utara nonaktif Abdul Gafur Mas’ud (AGM), menjadi penanda jika sektor perizinan punya celah besar disalahgunakan.
SAMARINDA–Pengembangan penyelidikan KPK menyingkap jika terdapat suap yang mengalir ke kantong AGM berasal dari sektor ini selain infrastruktur. Hal itu terungkap dalam dakwaan yang dibacakan KPK pada 8 Juni lalu. Jaksa KPK bahkan menduga uang Rp 3,1 miliar dari total Rp 5,7 miliar yang diterima AGM, berasal dari perizinan yang diterbitkannya selaku bupati.
Ringkihnya pengawasan dalam perizinan menurut pengamat hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah dilatari dua faktor. Yakni interaksi langsung dan birokrasi perizinan yang terbilang njelimet. “Birokrasi yang panjang dan masih ada tatap muka. Selama ada tatap muka masih ada potensi itu (suap atau gratifikasi),” ungkapnya kepada Kaltim Post, kemarin (9/6). Pemerintah memang sudah mencoba menekan atau memotong mata rantai korupsi dari potensi itu lewat skema online single submission (OSS).
Sistem perizinan dan terintegrasi dengan perizinan daerah dibentuk Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Namun, lanjut dia, sistem ini tak jua efektif. Lantaran masih terselip proses perizinan yang birokratis bahkan berbelit-belit. Alasannya, masih terselip rekomendasi teknis dari daerah dan banyak syarat. Sebut saja, izin lingkungan. Mekanisme untuk penerbitan rekomendasi masih diproses di pemerintah daerah. “Ini yang jadi peluang. Meski pusat tahu ada perizinan yang diajukan tapi proses rekomendasi tetap di daerah. Enggak langsung di sistem itu (OSS),” katanya.
Tak pelak, selama pembenahan setengah hati seperti ini masih ada, jelas suap atau gratifikasi akan tetap ada dalam lalu lintas perizinan. Sistem yang ada, lanjut Castro, begitu dia disapa, harusnya bisa menghilangkan interaksi dan memangkas birokrasi yang ada, sehingga mata rantai korupsi di sektor ini benar-benar terputus. Tak sampai di situ, baginya, pemerintah juga perlu memperkuat sistem pengawasan pada si pemegang kewenangan di daerah. BKPM sudah mencoba memperketat pengawasan perizinan lewat sistem whistle blowing system (WBS). “Tapi, lagi-lagi, sistem yang diharap men-trigger masyarakat untuk aktif melapor jika menemukan penyimpangan malah dibuat ribet dan birokratis,” ucapnya.
Transaksi suap atau gratifikasi selalu hadir di ruang gelap yang minim sorot pengawasan. Tak seperti kerugian keuangan negara yang jamak muncul dalam perkara rasuah. Kerugian negara itu terbilang kasat mata dan dapat divalidasi kebenarannya lewat audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pemeriksaan Keuangan Pembangunan (BPKP). Karena itu, menurut Castro, perlu pengawasan yang lebih ketat untuk sektor perizinan. “Salah satu pengawasan terbaik untuk menyingkap hal ini ya metode sadap yang dimiliki KPK. Di sisi pemerintah perlu memperbaiki sistem dan memperkuat penegakan hukumnya. Dari ulu ke ilir,” ungkapnya.
Diwartakan sebelumnya, AGM dan empat komplotannya, yaitu Muliadi (Plt Sekretaris Kabupaten PPU), Edi Hasmoro (kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat/PUPR PPU), Jusman (kepala Bidang di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga/Disdikpora PPU), dan Nur Afifah Balgis (bendahara DPD Demokrat Balikpapan), untuk kali perdana mencicipi kursi panas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Samarinda, dua hari lalu (8/6). Tim JPU KPK mendakwa kelimanya atas uang suap dengan nilai mencapai Rp 5,7 miliar.
Jumlah fee yang terkumpul dari proyek infrastruktur dan perizinan sepanjang 2020-2022. Kelimanya didakwa dengan dakwaan alternatif. Yakni Pasal 12 Huruf B atau Pasal 11 juncto Pasal 18 UU 31/1999 yang diperbarui dalam UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHPidana. Dalam persidangan, JPU KPK Ferdian Adi Nugraha mengurai bagaimana fee komitmen itu terkumpul. Kuasanya selaku bupati terpilih PPU periode 2018-2023, AGM menempatkan beberapa tim suksesnya di Pemkab PPU.
Sebut saja Asdarussalam alias Asdar dan Muliadi. Asdar mengisi pos Dewan Pengawas PDAM Danum Taka dan RSUD Ratu Aji Putri Botung. Sementara Muliadi, menghuni posisi yang jauh lebih strategis, yakni plt Sekkab PPU. Selain untuk menunjang jalannya roda pemerintahan, tangan kanannya ini turut pula mendapat tugas lain. Mengeruk fee dari proyek atau perizinan di Benuo Taka, slogan PPU. “Fee itu digunakan untuk membiayai kebutuhan AGM sebagai bupati PPU,” ucapnya membaca dakwaan.
Kendati menjabat bupati PPU, AGM masih tercatat sebagai ketua DPC Demokrat Balikpapan. Jabatan partai yang diembannya sejak 2015. Ketika maju di Pilkada PPU medio 2018, AGM rutin memanfaatkan rekening milik Nur Afifah Balgis hingga akhirnya perempuan 24 tahun ini diangkat sebagai bendahara Demokrat Balikpapan medio 2020. Sejak saat itu, Balgis menjadi pengelola dana operasional AGM yang didapatnya selaku bupati. Antara lain, fee komitmen yang dikumpulkan Asdar, Muliadi, Edi Hasmoro, hingga Jusman. “Perintah mengumpulkan fee itu langsung disampaikan AGM atau lewat dua orang, yakni Asdar atau Syamsudin alias Aco,” tuturnya.
Muliadi mendapat mandat mengeruk fee dari perizinan yang diterbitkan dari permohonan izin prinsip, izin pelabuhan TUKS (terminal untuk kepentingan sendiri), hingga izin usaha perkebunan. Total fee yang dikumpulkan Muliadi mencapai Rp 3,6 miliar. “Dari jumlah itu, sebesar Rp 3,1 miliar diserahkan ke AGM. Sementara sisanya, Rp 500 juta dinikmati plt Sekkab PPU tersebut (Muliadi),” lanjutnya. Sementara itu, Edi Hasmoro mendapat arahan dari AGM untuk memungut fee komitmen ke rekanan yang mendapat proyek. Perintah ditindaklanjuti dengan mengarahkan tiga bawahannya, Petriandy Ponganton Pasulu (kabid Bina Marga PUPR PPU), Ricci Firmansyah (kabid Cipta Karya PUPR PPU), dan Darmawan alias Awan (Plt kasi Pengairan PUPR PPU).
Sepanjang 2020-2022, uang yang dikumpulkan ketiga orang ini mencapai Rp 500 juta. “Uang ini diserahkan ke AGM lewat Nis Puhadi alias Ipuh pada 11 Januari 2022 untuk keperluan AGM mengikuti fit and proper test Demokrat di Jakarta,” jelasnya. Selain setoran ke AGM, Edi Hasmoro juga menikmati sejumlah uang dari para rekanan mencapai Rp 615 juta yang berasal dari fee 2,5 persen dari setiap proyek. Sementara Jusman, mengumpulkan fee dari proyek di Disdikpora PPU sebesar Rp 270 juta. Sebesar Rp 250 juta diserahkannya ke AGM dan sisanya dinikmati pribadi. Lewat Asdar, AGM juga menikmati fee yang dipungut dari para rekanan. “Total yang dikumpulkan Asdar mencapai Rp 2 miliar. Namun, hanya Rp 1,85 miliar yang diterima AGM karena Rp 150 juta digunakan Asdar sendiri. Uang ini berasal dari Ahmad Zuhdi, terdakwa penyuap yang ditangkap KPK dalam perkara ini,” urainya. (riz/k16)