Begitulah para pelukis-penyair melewati tiga hari riset dan observasi rangkaian PKT Menyapa Budaya (PMB), sampai Rabu (8/6) malam. Dari perkara pupuk di bilik kendali tadi, hingga suguhan ikan bakar, udang, dan palumara di Bontang Kuala, malam sebelum kembali ke kota masing-masing.
Dari pabrik, mereka ke perkampungan atas laut Malahing sekitar 20 menitan “pelayaran” dengan speedboat dari dermaga PKT. Bersua dengan para nelayan asal Mamuju, Sulawesi Barat, menyaksikan anak-anak mereka menari, bermain di laut, dan memperagakan ketangkasan pencak silat, serta mencicipi suguhan dari olahan khas tangkapan nelayan.
Di sana berkah industri pupuk hadir dalam kehidupan 217 warga. Antara lain melalui bantuan unit-unit rumah, pasok air bersih, energi listrik tenaga surya, fasilitas pendidikan, kesehatan, modal kerja bagi pengolahan hasil laut, serta pendampingan budi daya rumput laut menjadi amplang, ceker, stick, sirup, snack kertas, kembang goyang, dan sabun.
Dari Malahing kembali ke darat. Berikutnya mereka ke Mangrove Telok Bangko, Makrifah Herbal, perkampungan adat Kutai di Guntung, Masjid Baiturrahman, Pura Buana Agung, dan Bontang Mangrove Park. Seperti di dermaga pupuk curah dan Malahing, di titik-titik kunjung itu pun lahir sketsa-sketsa gambar dan kata atau bahkan puisi jadi.
Diinisiasi Butet dan disambut direksi PKT program PMB dihasratkan sebagai reaksi kreatif atas anggapan dunia industri dan kebudayaan yang berjarak, saling memunggungi, bertolak belakang. Sementara manusia di dan sekitar jagat industri senantiasa perlu asupan pemikiran, ekspresi budaya, dan seni.
Direktur Utama PKT Rahmad Pribadi mengakui, pentingnya industri yang “ramah budaya” mengingat keperluan dasar manusia-manusia yang menggerakkannya. Itulah di antara sebab mengapa PKT mengundang para pelukis dan penyair ke Bontang. Ialah agar mereka dapat menghasilkan karya-karya hasil interaksi dengan dinamika di kota ini dalam karya-karya lukis dan puisi kelak.
Persinggungan PKT dengan seni-budaya sesungguhnya bukan baru kali ini terjadi. Di antara tonggak penting yang membuatnya beda dari umumnya industri di Tanah Air adalah sejumlah pertunjukan karya seniman ternama. Semisal Bagong Kussudiardja, Rendra, Amri Yahya, dan Sardono W Kusumo - (Ikuti tulisan kedua serial ini besok).
Sebagai model interaksi seniman dan industri PMB pun sebenarnya bukan yang pertama. Tahun 1970-an Pertamina mengundang sejumlah pelukis untuk melihat dan menghayati dari dekat kegiatan kilang-kilang minyak di berbagai sudut Indonesia. Mendengarkan apa yang terjadi, memperoleh informasi seputar peran industri bagi manusia Indonesia.
“Lalu lahirlah lukisan-lukisan yang secara tematik memberi nuansa baru pada konstelasi seni rupa Indonesia,” kata Butet. Industri jadi ambil peran. Tidak melulu berorientasi keuntungan finansial, melainkan juga terwarnai sentuhan budaya dan kemanusiaan. “Terbukti di kemudian hari karya-karya itu menjadi koleksi Pertamina yang sangat bernilai,” simpulnya.
Namun, rada berbeda dari yang dilakukan Pertamina dulu, Butet dan PKT melibatkan pula sastrawan. Karena itu, kegiatan ini kelak menghasilkan pula antologi. Review-nya dikerjakan oleh sastrawan Agus Noor.
Diperkirakan seratusan sketsa lahir dari keseluruhan rangkaian riset dan observasi PMB. Sebagian besar menjadi koleksi PKT, sebagian kecil menjelma menjadi tanda kasih sayang dan persahabatan, beredar di antara sesama peserta dan peninjau.
Hari-hari ini, di studio dan rumah masing-masing, para pelukis dan penyair menjalani kesibukan baru; menyiapkan lukisan dan puisi untuk pameran dan peluncuran antologi, Desember nanti. Melukis dan menulis semerdeka-merdekanya, sejujur-jujurnya, buah pertemuan dengan dinamika pabrik, alam, dan manusia-manusia di sekitarnya. (rom/k16)
*) Syafril Teha Noer adalah ketua Dewan Kesenian Daerah Kaltim