Perempuan penyuka tayangan komedi itu tak pernah bercita-cita menjadi dosen. Jejak sang suami salah satu yang menuntunnya menemukan keyakinan bahwa mengajar adalah passion-nya.
ASEP SAIFI, Samarinda
@asepsaifi
SEJAK kecil bercita-cita menjadi arsitektur, akhirnya Prof Anindita Septiarini berlabuh sebagai salah satu dosen di Universitas Mulawarman (Unmul). Menjadi pendidik, rupanya kariernya terbilang gemilang. Beberapa hari lalu, perempuan yang hobi mendengarkan musik tersebut menjadi satu dari 36 orang yang dikukuhkan sebagai guru besar Unmul. Menjadi yang termuda, Kepakaran Bidang Ilmu Kecerdasan Buatan Fakultas Teknik.
Sebagai anak polisi, disiplin dan selalu tertib seperti menjadi pola yang sudah tertanam sejak muda. Sang ayah merupakan pensiunan jenderal bintang satu, pernah menjabat Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB). Prof Anindita berkarier sebagai dosen sejak 2005, ketika lulus dan menyandang gelar Sarjana Teknik Informatika.
“Tahun itu (2005) pengajarnya S-1 masih boleh. Sebetulnya enggak ada cita-cita jadi dosen, kebetulan ikut suami yang ngajar duluan di program studi yang sama,” ungkap Prof Anindita saat bincang dengan Kaltim Post, Senin (25/9).
Namun, setelah menjadi pengajar, rasanya cocok dan sesuai passion. Sehingga bisa berjalan selama dua tahun. Pada 2007, Prof Anindita ikut jejak suami meneruskan jenjang pendidikan S-2. Selama dua tahun menempuh perkuliahan di Universitas Gajah Mada, akhirnya berhasil meraih gelar magister ilmu komputer.
"Setelah lulus, saya kembali lagi ke Samarinda. Karena suami PNS sejak 2005, dan kebetulan ada pembukaan CPNS untuk program studi ilmu komputer, dibutuhkan tiga dan yang daftar hanya dua orang pada 2009," sambungnya.
Setelah resmi menjadi PNS sebagai dosen, perempuan berjilbab itu pun mempelajari kewajiban dan jenjang pendidik tersebut. Selain tri darma yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Nyatanya ada jabatan fungsional yang mesti diurus, jenjangnya asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar.
"Setelah CPNS saya lihat kapan bisa mengurus paling cepat, ternyata minimal dua tahun. Dan SK saya sebagai asisten ahli terbit pada 1 Oktober 2011," lanjut ibu tiga anak tersebut.
Kemudian dua tahun berikutnya, mengurus lektor, dan pada 2013 awal mulai mencari tempat untuk menempuh jenjang S-3. Untuk meraih gelar doktor diklaim sangat berbeda dengan S-1 maupun S-2. Sebab, harus ada proposal disertasi lebih dahulu dan peluang untuk diterima lebih kecil.
“Waktu itu coba di Institut Teknologi Sepuluh November (IST) Surabaya. Harapannya, saya bisa kuliah di sana karena orangtua tinggal di Surabaya. Akhirnya ITS tidak lolos, di UGM ada pendaftaran sampai gelombang tiga," ungkapnya.
Walhasil, bersama sang suami, perempuan yang juga hobi nonton komedi itu kembali menempuh pendidikan di UGM. Ketiga buah hati pun harus dititipkan ke orangtua yang berada di Surabaya. "Solusi tengahnya saya bolak-balik Surabaya-Jogja. Dan alhamdulillah lulus pada 11 Agustus 2017, masa studi hampir empat tahun dan menyandang gelar doktor. Karena waktu itu masih revisi dan wisuda akhirnya kembali mengajar lagi pada awal 2018," imbuhnya.
Setelah kembali ke Samarinda, Prof Anindita pun mencari informasi untuk naik jenjang dari lektor menjadi lektor kepala. Dan ternyata minimal harus tiga tahun setelah lulus doktor baru bisa mengusulkan. Selama berproses, istri Dr Hamdani itu sempat menjadi kepala laboratorium riset dan ketua program studi.