Ketidakmampuan pengusaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal mengadopsi teknologi membuat mereka kesulitan bersaing dengan TikTok Shop yang mendominasi pasar.
MELALUI live streaming shopping, TikTok berevolusi dari sosial media menjadi platform social commerce. mengapitalisasi sukses mengubah jejaring sosialnya menjadi pasar transaksi secara virtual. Inovasi ini membuat konsumen lebih suka berbelanja melalui media sosial tanpa harus bertemu langsung secara fisik.
Social commerce (S-commerce) sudah menjadi tren pada era ekonomi digital. Salah satu contohnya Alibaba yang menjadi pelopor penggunaan jejaring sosial untuk pemasaran melalui live streaming. Inovasi ini membuat Alibaba tumbuh menjadi salah satu “raksasa” di dunia e-commerce. Bahkan pada 2022, Mc Kinsey memprediksi Alibaba berhasil menghasilkan pendapatan USD 423 miliar melalui inovasi s-commerce mereka.
Perkembangan s-commerce di Indonesia justru berjalan latah. S-commerce yang dikuasai oleh online platform justru mengapitalisasi pasar, yang akhirnya berpotensi mematikan UMKM lokal. Keuntungan dari platform tidak hanya menyederhanakan transaksi bisnis, tetapi juga memberikan akses ke barang-barang impor dengan harga yang lebih terjangkau. Selain itu, banyak artis terkenal yang ikut dalam promosi produk di platform ini, membuat UMKM semakin kesulitan bersaing.
Merespons hiruk-pikuk s-commerce, pemerintah kemudian melarang TikTok cs berjualan. Dalih utamanya melindungi UMKM lokal agar tidak gulung tikar. Pemerintah percaya integrasi s-commerce dengan e-commerce hanya menguntungkan pihak tertentu. Platform-platform ini dapat dengan mudah mengatur iklan mereka dengan menggunakan algoritma, yang bisa mengakibatkan dominasi pasar oleh satu pihak saja.
Namun, pada era digital sekarang apakah masih relevan melarang penggunaan teknologi dalam konteks ekonomi? Menurut penelitian Mangold WG (2009) yang berjudul "Social Media: The New Hybrid Element of the Promotion Mix," media sosial sebenarnya menjadi instrumen penting untuk memahami minat konsumen, dan dapat digunakan efektif sebagai sarana pemasaran yang lebih luas. Dengan kata lain, melarang media sosial berbisnis bisa jadi merupakan kemunduran negara karena tidak bisa memanfaatkan teknologi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Dilarang atau Diregulasi?
Menteri Koperasi dan UMKM, Teten Masduki, mengatakan pemerintah perlu mengambil tindakan tegas terhadap platform s-commerce, sebagaimana yang dilakukan Amerika melarang media sosial terlibat dalam bisnis. Berbeda dengan India, s-commerce justru mendapat dukungan, tetapi perlu diatur dengan baik. Menurut laman berita bisnis India "Mint" (2023), Pemerintah India akan mengatur registrasi platform s-commerce untuk meningkatkan pengawasan, terutama dalam melindungi konsumen dari promosi menyesatkan dan beberapa masalah lainnya.
Di Indonesia, s-commerce dari sudut pandang hukum dianggap problem karena tidak memiliki izin yang sesuai. Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020, izin media sosial hanya penyelenggaraan sistem elektronik (PSE), bukan untuk perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Masalah ini mendasari usulan bahwa s-commerce sebaiknya dilarang, karena platform tersebut menggabungkan PSE dan PMSE dalam satu aplikasi yang tidak sesuai peraturan.
Namun, memandang hukum di era teknologi tidak boleh konservatif. Sebagaimana konsep “Code Is Law” dari Lawrence Lessig selaku filsuf hukum ekonomi Harvard Law School menyebutkan, hukum tidak boleh statis dan harus beradaptasi dengan teknologi agar tetap relevan dalam mengatur masyarakat digital.
Pendapat Lessig menjadi dasar merespons isu s-commerce di Indonesia. Pemasaran melalui media sosial memiliki potensi besar untuk mempromosikan produk UMKM lebih luas. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh M Gupta, seorang peneliti ekonomi digital dari India, penggunaan media sosial sebagai pemasaran bisnis memiliki pengaruh yang besar terhadap minat transaksi dari pasar target, bahkan lebih dari pemasaran fisik.
Contoh TikTok. Pada 2023 pengguna TikTok tercatat mencapai 1 miliar (Business of App:2023). Rata-rata pengguna menghabiskan 1,5 jam per hari (Influencer Marketing hub:2023). Selain itu, platform media sosial lain seperti Instagram dan Facebook juga tidak kalah memiliki potensi besar untuk pemasaran produk layaknya TikTok.
Artinya, media sosial seharusnya tidak dilarang. Tapi, harus diatur untuk menciptakan ruang UMKM beradaptasi dengan teknologi agar dapat tumbuh baik di skala nasional maupun global. Sebagaimana negara-negara di Asia Tenggara yang telah memanfaatkan s-commerce. Seperti Filipina dan Malaysia yang sudah meraup cuan dari pemanfaatan teknologi ini.
Intervensi Negara