Peran pemerintah dinilai masih minim dalam memastikan distribusi BBM subsidi tepat sasaran. Itu tecermin dari bebasnya pengetap keluar-masuk SPBU membeli BBM subsidi jenis solar dan Pertalite untuk dijual kembali atau diecer.
SAMARINDA-Regulasi jelas mengatur jika SPBU merupakan tempat penjualan BBM terakhir. Tidak boleh diecer apalagi sampai ditimbun. Kepada Kaltim Post, akademisi hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Orin Agusta Andini menjelaskan, para pengetap yang beraksi di SPBU sejatinya bisa langsung ditindak aparat penegak hukum (APH). Selain sudah jelas merugikan orang lain atau masyarakat luas, Pasal 55 UU Migas Tahun 2001 menyebut pelaku diancam pidana penjara 6 tahun dan denda maksimal Rp 60 miliar.
"UU Migas sudah ditegaskan perbuatan penyalahgunaan, pengangkutan, termasuk penimbunan atau menyimpan terancam pidana," kata Orin, Kamis (9/11). Sesuai regulasi, sambung dia, memang penjualan terakhir BBM hanya di SPBU dan Pertashop. Namun fakta di lapangan, banyak juga penjual BBM di pinggir jalan. "Di satu sisi mungkin membantu perekonomian masyarakat, juga kalau ada orang kehabisan bensin di jalan bisa memanfaatkannya. Tapi di sisi lain itu berbahaya dari sisi keselamatan dan keamanan," urainya.
Orin pun memberikan gambaran kejadian di Jalan AW Syahranie, Samarinda belum lama ini. Kala itu, mobil menabrak warung penjual BBM di pinggir jalan. Akibatnya, terjadi kebakaran dan menimbulkan korban jiwa. "Melakukan penimbunan, maka berpotensi memberikan dampak yang sangat berbahaya. Sebenarnya pilihan ya, apakah akan ditertibkan dengan benar-benar dilarang, atau dibatasi jumlahnya melalui Pertashop itu," sambungnya.
Namun, tetap yang harus jadi prioritas adalah pengetap dalam jumlah banyak. Karena akhirnya menimbulkan antrean panjang di SPBU. "Kemudian, apakah diperlukan peraturan daerah khusus memberantas pengetap? Kalau dibuat dalam tataran perda biasanya akan melibatkan kewenangan Satpol PP sebagai pelaksana perda. Jadi, ada kemungkinan bisa lebih praktis dalam pengawasannya," sebutnya. Persoalannya saat ini, sambung dia, penegakan hukum yang inkonsisten.
“Tapi faktanya kan. Sampai sekarang masih antre juga, berarti ada kemungkinan penegakan hukum tidak konsisten dan belum menyasar pelaku sebenarnya," imbuhnya. Lanjut dia, jika pengetap bebas mendapat kuota BBM, tentunya ada andil dari SPBU. Karena seharusnya kalau ada yang membeli dalam jumlah tidak wajar, dan dibiarkan, maka bisa dikatakan ada andil karena ada pembiaran.
"Apakah SPBU bisa diproses hukum juga? Kalau memang ada keterlibatan, baik sejak awal bersepakat membantu, maka sudah pasti bisa dikenakan sebagai turut serta. Oknum yang memberi sarana untuk memudahkan pengetap BBM dapat dijerat, ancamannya dua per tiga dari Pasal 55 UU Migas," ungkapnya. Pada bagian lain, persoalan antrean Pertalite di SPBU di Balikpapan maupun Samarinda, perlahan-lahan mulai terurai. Itu setelah Polda Kaltim mengungkap kasus penyelewengan BBM subsidi di SPBU Km 28, Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Karya Merdeka Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara (Kukar), Selasa (7/11).
Ada sekira 780 liter Pertalite yang diamankan dari dua pengetap ini. Modus operandi pelaku adalah, mengantre membeli Pertalite di SPBU Km 28. Setelah pelaku selesai mengantre dan membeli BBM jenis Pertalite, mereka memindahkan BBM jenis Pertalite dari tangki pengisian BBM ke dalam jeriken yang berada di dalam mobil.
“Dilakukan berkali-kali dengan menggunakan selang dan mesin pompa elektrik yang telah terhubung dari tangki penyimpanan BBM ke dalam jeriken,” kata Wadir Krimsus Polda Kaltim AKBP Rakei Yunardhani kemarin.
Dari kedua pelaku, ada enam jeriken berisi Pertalite berisi kurang lebih 30 liter dengan total sekira 180 liter dari mobil Daihatsu Sigra silver milik tersangka Ridwan. Kemudian, 30 jeriken berisi Pertalite masing-masing jeriken berisi kurang lebih 20 liter dengan total sekira 600 liter dari Toyota Avanza milik tersangka Jamal. Polisi juga menyita barang bukti satu unit pompa elektrik dan selang.
Dari pengakuan kedua pelaku, kata dia, Pertalite yang dibeli dari SPBU akan dijual kembali ke masing-masing penjual BBM eceran yang memiliki dispenser pom mini. Dengan selisih harga jual kepada penjual BBM eceran senilai Rp 2 ribu. Dari harga jual Pertalite di SPBU sebesar Rp 10 ribu per liternya. “Memang niatnya mau jual Pertalite dengan harga tinggi. Kami menyikapi antrean beli Pertalite di SPBU. Dan kami masih menyelidiki kasus seperti ini di Balikpapan dan Samarinda. Bersama teman-teman polres,” pungkasnya. (riz/k15)
ASEP SAIFI