Padahal waktu itu Dika hanya mencoba mengungkapkan perasaannya secara jujur, bahwa ia terkadang berpikiran untuk segera mati. Dari perkataan yang tampak bodoh itu, ia sebenarnya hanya lelah harus terus-menerus diomeli dengan bentakan seakan-akan kehadirannya tidak diinginkan. Lelah, pada apa pun yang diperbuatnya dan seakan-akan selalu salah, mengecewakan, tanpa sedikit pun dapat dibanggakan.
Dika masih duduk di sana, di atas pohon rubuh itu, dan memilih memutar kembali lagu berjudul monster itu berkali-kali. Saat tiba kembali pada lirik no need to forgive, no need to forget, i know your mistakes and you know mine, ia mulai membasuh pipinya yang menyisakan basah.
Untungnya dunia tidak hanya seluas satu kaveling tanah berserta rumahnya. Pekerjaannya di luar kota, membuatnya bertemu lebih banyak manusia beserta sebagian ceritanya. Ia bersama mereka, orang-orang yang sedang jauh dari rumahnya masing-masing, bertemu untuk saling menggantikan rumah satu sama lain. Namun, tetap saja, tiada rumah yang sempurna selayaknya tidak ada manusia yang sempurna.
Curang, ibu curang karena mati lebih dulu, harusnya Dika, Bu, batin Dika berseteru.
Bagi Dika, pelukan ibu adalah obat yang mampu membasuh luka-lukanya, kehangatan kecilnya. Di pangkuan ibu, ia bisa bebas menumpahkan air mata sepuasnya. Terkadang ibu mengelus kepalanya dan diikuti perkataan lembut yang selalu dirindukannya. Dika kini hanya bisa mengelus ulu hatinya sendiri sambil mengatakan hal yang sama seperti yang dulu ibu ucapkan pada dirinya. "Sudah, sudah ya, gak apa-apa."
Selanjutnya, pandangan Dika mengarah ke lautan luas di hadapannya. Jauh dari perairan itu, ada daratan lain, ada kehidupan lain yang tak terlihat dari tempatnya duduk. Mungkin begitu pun dengan perhatian bapak. Hanya kepedulian dari ibu yang tampak jelas dari pandangannya. Mungkin saja selama ini bapak juga sebenarnya peduli dengan caranya sendiri sehingga kepedulian itu samar di matanya.
Tiada kebencian yang sempurna selayaknya tidak ada manusia yang sempurna. Lewat ibu, kemungkinan bapak sudah cukup tahu kabar Dika, sehingga ketika ibu tiada maka bapak pun baru menunjukkan hal itu. Bapak memang jarang menunjukkan bentuk kasih sayangnya melalui kata-kata dan pelukan selayaknya sosok bapak yang biasanya ia saksikan di film barat, sosok kepala keluarga yang hangat.
Dika menolehkan pandangannya ke salah satu rumah di bukit yang berhadapan dengan pantai, meyakinkan dirinya untuk tetap lanjut berjalan. Bagaimana pun juga bapak telah berjasa untuknya. Apa pun kesalahannya, bapak tetaplah bapaknya. Lagi pula, tidak pernah ada yang namanya mantan bapak. (dwi/k8)