Dari sebelumnya dibabat habis, hutan bakau (mangrove) di Desa Daun, Bawean, Gresik, kini berubah ekowisata yang menjadi alternatif penghidupan warga. Subhan memilih memulihkannya dan tak merantau ke Malaysia karena sedari dulu yakin kawasan tempat tinggalnya kaya asal dikelola dengan baik.
FARID S. MAULANA, Gresik
DI menara pantau sore itu Subhan tersenyum. Dia menatap 43 hektare lahan di pesisir pantai Desa Daun, Bawean, yang lebat dengan hutan mangrove. Bukan hanya itu, beberapa lahan juga sudah dijadikan tempat budi daya udang hingga kepiting.
Ingatan pria 45 tahun itu seperti terlempar kembali ke masa kecilnya. Ketika hutan mangrove di desanya yang terletak di pulau yang berjarak 120 kilometer arah utara dari Gresik, kabupaten di Jawa Timur yang menaungi Bawean, juga sangat lebat. Dengan kepiting dan udang hidup di bawahnya dan sangat mudah ditangkap.
Sekelebat Subhan juga melihat sawah kakeknya. Sawah yang sempat hilang karena abrasi pada akhir 1980-an. ”Di sawah itu banyak kenangan. Terutama saat membajak sawah dan makan di sana sama almarhum kakek,” kenangnya kepada Jawa Pos yang menemuinya jelang akhir Oktober tahun lalu (24/10/2023).
Keindahan hutan bakau Desa Daun, Kecamatan Sangkapura, saat ini memang tak terlepas dari kerja keras Subhan dan kawan-kawannya. Dulu hutan bakau itu dibabat habis. Akibatnya, 43 hektare terkena abrasi dan tidak produktif lagi.
”Yang mbabat warga sini sendiri. Karena tahu, kalau dibuat arang, kayu dari batang mangrove harganya mahal dan kualitasnya bagus,” ujar bapak dua anak yang sehari-hari bekerja di toko emas milik kakaknya tersebut.
Yang paling menyesakkan hatinya, memasuki awal 1990-an, tidak ada lagi kepiting ataupun udang yang dulu mudah ditangkapnya. Sawah kakek yang penuh kenangan ikut menghilang karena abrasi air laut akibat gundulnya hutan bakau. ”Lalu, tahun 1998, saya tergerak untuk mengembalikan hutan mangrove desa saya,” ungkapnya.
Tentu, rencana melakukan konservasi tidaklah mudah untuk mewujudkannya. Lawannya teman dan tetangga sedesanya sendiri. Juga para nelayan di desanya. Mereka yang jadi pelaku perusakan hutan bakau.
Hari-hari dilaluinya dengan semprotan cacian serta makian dari kanan-kiri. Mulai dicap penganggur sampai dianggap gila. Apalagi, teman-teman sepantarannya banyak yang merantau ke Malaysia menjadi buruh migran. Bawean memang pernah dikenal sebagai ”Pulau Perempuan” karena mayoritas kaum adam di sana mengadu nasib ke negeri jiran.
Subhan pun dianggap penganggur yang tidak berguna di desanya. ”Saya tidak mau ikut ke sana karena ngapain jauh-jauh merantau? Desa kami di sini itu kaya jika dikelola dengan baik,” kenangnya.
Subhan terus bersabar sambil tetap berupaya. Dia berusaha melawan cacian dengan bukti-bukti yang bisa menawan hati rekan-rekan sedesa. Hampir tiap hari, anak keenam dari delapan bersaudara itu datang ke pos-pos nelayan. Sambil membawa rokok dan makanan, dia mengajak bicara sekaligus mengembalikan kenangan mereka tentang keindahan hutan mangrove Desa Daun.