Dugaan tindak pidana korupsi pengadaan bahan bakar batu bara untuk PT PLN (Persero) yang berasal dari wilayah penambangan Kalteng mulai disidangkan di Pengadilan Tikipor Palangka Raya, Selasa (27/2). Enak terdakwa duduk sebagai pesakitan. Terdakwa dalam perkara itu, di antaranya RRH (Direktur Utama PT Borneo Inter Global), MF (Direktur Utama PT Haleyora Powerindo), BLY (Manajer Area Wilayah Kalteng dan Kalsel PT Asiatrust Technovima Qualiti), TF (Manager PT Geoservices Cabang Mojokerto), AM (Vice Precident Pelaksana Pengadaan Batubara PT PLN), dan DPH (perantara PT Borneo Inter Global).
Mereka didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 UU RI Nomor 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Kemudian, subsidair melanggar Pasal 3 Jo Pasal 18 UU RI Nomor 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Baca Juga: Soal Penanganan Perkara lewat Keadilan Restoratif, Satu Usulan Kejari Disetujui Kejagung
Kepala Penerangan Hukum Kejati Kalteng Dodik Mahendra mengatakan, berdasarkan dakwaan, perkara itu bermula sekitar Januari 2022, terdakwa RRH menghubungi PT Kalinapu Barito Timur, perusahaan yang melakukan operasi produksi batu bara di penambangan batubara Koperasi Lintas Usaha Bartim. Dalam pembicaraan mereka itu, RRH meminta agar bersedia menyediakan batu bara untuk PT BIG yang nantinya akan dipasok ke PT PLN tanpa spesifikasi atau tanpa ada parameter dengan volume sekitar 15.000 MT.
PT BIG lalu mengajukan penawaran pengadaan batu bara pada Executive Vice President (EVP) Batu Bara PLN Pusat melalui surat resmi tanpa tanggal. Pada 14 dan 18 Januari 2022, digelar pertemuan secara virtual dengan agenda rapat pasokan batu bara untuk penanganan keadaan darurat antara AM selaku Pejabat Pengadaan Divisi Batu Bara PT PLN (Pusat) dengan RRH untuk membahas surat penawaran tersebut.
Kemudian, dokumen catatan rapat ditandatangani AZ selaku Vice President (VP) Pelaksana Pengadaan Batu Bara PT PLN, saksi Zuhdi Rahmanto selaku VP Perencanaan dan Evaluasi Pengadaan Batu Bara PT PLN, saksi TS selaku VP Pengendalian Kontrak Batubara PT PLN. RRH lalu menandatangani dokumen tersebut, sedangkan untuk kolom tanda tangan ketua KLUB, yakni saksi AT (sumber/asal barang) dipalsukan dengan cara dipindai. Pemalsuan tanda tangan dan cap ketua KLUB tersebut membuat seolah-olah pihak asal/sumber barang hadir saat video konferensi, padahal mereka tidak hadir.
Semua dokumen penawaran dan data terkait lainnya seharusnya wajib diverifikasi dan klarifikasi oleh pejabat pengadaan. Namun, hal itu tidak dilakukan oleh terdakwa AZ. Padahal, pemasok batu bara harus memiliki surat tugas dari Dirjen Minerba Kementerian ESDM, sedangkan yang bersangkutan tidak pernah mengeluarkan surat tugas kepada PT BIG sebagai pemasok batubara maupun KLUB selaku pemilik IUP-OP.
Sampai RRH memesan batu bara dengan spesifikasi 3400 kcal/kg, jauh di bawah spesifikasi yang telah ditentukan PT PLN (Persero), yaitu 4.200 kcal/kg. Untuk pengaturan atau pengondisian kalori batu bara tersebut, terdakwa DPH mengirim uang ke IM sebesar Rp330 juta. Para terdakwa dinilai memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu yakni RRH sebesar Rp4.354.422.769, DPH Rp375 juta, dan FM Rp256 juta. Perbuatan terdakwa telah mengakibatkan kerugian keuangan negara berdasarkan laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara BPKP Perwakilan Provinsi Kalimantan Tengah sebesar Rp4.985.422.769,00. (daq/ign)