PONTIANAK - Rabies atau ‘anjing gila’ adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus yang menyerang sistem saraf pusat dan dapat menyebabkan kematian. Di Kalimantan Barat setidaknya ada 164 orang meninggal dunia akibat rabies dalam 12 tahun terakhir. Berikut laporan wartawan Pontianak Post, Arief Nugroho.
Virus rabies termasuk dalam keluarga Lyssavirus. Virus ini dapat ditemukan di air liur hewan yang terinfeksi dan masuk ke tubuh manusia melalui luka terbuka atau mukosa seperti mata, hidung, atau mulut. Penyakit ini umumnya ditularkan melalui gigitan atau cakaran hewan yang terinfeksi, seperti anjing, kucing, dan kera.
Keberadaan rabies diperkirakan telah ada sejak ribuan tahun lalu dan dicatat dalam sejarah manusia. Salah satu catatan tertua tentang penyakit ini dapat ditemukan pada prasasti Mesir Kuno sekitar tahun 2300 SM, yang menggambarkan gejala yang mirip dengan rabies pada manusia dan hewan.
Rabies menyebar di seluruh dunia dan dapat ditemukan di hampir semua benua kecuali Antartika. Penularan utama terjadi melalui gigitan hewan yang terinfeksi virus rabies, dengan anjing menjadi penyebab utama penyebaran rabies pada manusia.
Beberapa negara telah berhasil mengendalikan dan menghapus rabies melalui program vaksinasi massal dan pengendalian hewan yang efektif. Namun, di daerah-daerah di mana rabies masih ada, terutama di negara berkembang, penularan dari hewan ke manusia tetap menjadi masalah serius.
Berdasarkan Jurnal of Health Epidemiology and Communicable Diseases (JHECD), kasus rabies di Indonesia pertama kali terjadi di Provinsi Jawa Barat pada tahun 1884. Hingga saat ini penyebarannya terjadi di 26 Provinsi, termasuk Provinsi Kalimantan Barat.
Studi epidemiologi retrospektif menyebutkan bahwa virus rabies kemungkinan telah masuk ke Kalimantan Barat, sejak tahun 1999, melalui penularan lintas batas dari Kabupaten Lamandau di Kalimantan Tengah.
Namun, sejak itu kasus kematian akibat rabies tidak pernah terdengar lagi. Hingga pada tahun 2004, pemerintah mendeklarasikan status Kalimantan Barat bebas rabies.
Ironisnya, setahun setelah deklarasi, kasus rabies kembali muncul. Kemunculan kembali terjadi pada tahun 2005 hingga 2013 yang ditandai oleh penyebaran virus yang senyap namun persisten, yang memungkinkan rabies untuk mengakar kuat di dalam populasi anjing lokal.
Pada 2014, Provinsi Kalimantan Barat sekali lagi dinyatakan bebas rabies. Melalui sebuah Keputusan Menteri Pertanian No. 885/Kpts/PD.620/8/2014 tentang pembebasan Rabies Provinsi Kalimantan Barat.
Namun, deklarasi itu dimentahkan oleh laporan terjadi kasus rabies yang menyebabkan kematian di Kabupaten Ketapang. Sehingga status bebas rabies di Provinsi Kalimantan Barat dicabut oleh Kementerian Pertanian.
Situasi memburuk dengan sangat cepat, memaksa pemerintah untuk mengambil langkah-langkah darurat. Awal Februari 2015, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk dua kabupaten yang paling parah terkena dampak, di antaranya Kabupaten Ketapang dan Melawi. Laporan pada saat itu mencatat antara 185 hingga 224 kasus gigitan pada manusia, dengan sejumlah kasus kematian yang tragis.
Gubernur Kalimantan Barat yang saat itu dijabat oleh Cornelis, menetapkan status KLB di seluruh provinsi pada 18 Februari 2015. Bahkan, status KLB ini direncanakan untuk diperpanjang karena respons awal dinilai belum efektif untuk mengendalikan penyebaran.
Periode 2014 hingga 2017 menjadi saksi peningkatan tajam jumlah kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR). Wabah yang awalnya terkonsentrasi di beberapa wilayah dengan cepat menyebar, dan pada tahun 2017, kasus gigitan HPR telah dilaporkan di 13 kabupaten/kota di seluruh provinsi.