• Senin, 22 Desember 2025

Citra Fitri di Lingkaran Pandemi

Photo Author
- Kamis, 18 Juni 2020 | 10:08 WIB
Yogyantoro
Yogyantoro

Anugerah Idulfitri di lingkaran pandemi masih dapat kita rasakan. Euforia umat muslim seluruh dunia yang penuh passion dengan berbagai uba rampe (perlengkapan), gegap gempita merayakan hari Lebaran tahun ini teredam wabah corona. Momen yang paling dinantikan untuk sungkem, dan saling berjabat tangan harus tertahan. Kalimat ajaib untuk dibagi-bagikan yaitu “Minal Aidzin Walfaidzin, Maafkanlah Lahir Batin” terbatas berseliweran di jagat virtual.

-----------------------------------------------------------------------------
Oleh: Yogyantoro
Pencinta sastra, penulis buku Fajar di Atas Menoreh 2020
-----------------------------------------------------------------------------

Banyak juga yang menggunakan varian-varian berbeda seperti kaum muslim dari Singapura atau Malaysia dengan ucapan Maaf Zahir dan Batin. Sampai yang dari India dengan ucapan Eid Mubarak. Tidak jarang pula kita mendengar ucapan selamat tatkala Idulfitri dengan “Taqobbalalloohu minnaa wa minkum” (Semoga Allah menerima amal kalian) atau dengan “A’aadahulloohu ‘alainaa wa ‘alaika bil khoiroot war rohmah” (Semoga Allah membalasnya bagi kita dan kalian dengan kebaikan dan rahmat). Sementara itu wong Jowo masih senang dengan ucapan “Sugeng Riadin” (Selamat Hari Raya) atau “Ngaturaken Sedaya Kalepatan” (Mohon maaf atas segala kesalahan).

Allahu akbar Allahu akbar, Allahu akbar. Laa ilaha illAllahu akbar. Allahu akbar wa Lillah ilhamd. Gemuruh suara takbir pun menembus langit dan menggema di seantero negeri seperti kidung keramat yang mampu meregangkan beban kejiwaan, menendang mata batin dan menyodok sanubari. Sebuah genderang pertanda hari kemenangan. Setelah satu bulan berpuasa dan berzakat fitrah akhirnya meraih kemenangan di hari yang fitri. Benarkah saat ini kita telah kembali ‘fitri’?

Sekarang ini masyarakat banyak yang terbius sebuah persepsi atau citra diri bahwa Idulfitri berarti kembali kepada fitrah atau suci karena dosa-dosa kita telah terhapus. Persepsi semacam ini perlu diluruskan karena kurang mengena secara tinjauan maupun istilah syar’i. Kesalahan dari sisi bahasa, apabila makna “Iedul Fitri” demikian, seharusnya “Iedul Fitroh” (bukan Iedul Fitri). Adapun dari sisi syar’i, terdapat hadis yang menerangkan bahwa Idulfitri adalah hari di mana kaum muslimin kembali berbuka puasa. Sebagaimana dijelaskan dari Abu Huroiroh : “Bahwasanya Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Puasa itu adalah hari di mana kalian berpuasa dan (‘iedul) fitri adalah hari di mana kamu sekalian berbuka...’ ( HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, shohih).

Fitri atau fitrah dalam bahasa Arab berasal dari kata fathara yang berarti membedah atau membelah. Bila dihubungkan dengan puasa maka mengandung makna “berbuka puasa”. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1997, fithrah biasa diterjemahkan segala sesuatu yang suci, bersifat asal, atau pembawaan. Fitrah ada kalanya ditafsirkan sebagai keadaan kembali kepada normalnya kehidupan manusia yang natural dan memenuhi kehidupan jasmani dan ruhaniyah secara seimbang.

Ditinjau dari sisi etimologis, Idulfitri terdiri dari dua kata. Pertama kata ‘id yang dalam bahasa Arab bermakna ‘kembali’, dari asal kata ‘ada. Ini menunjukkan bahwa Hari Raya Idulfitri selalu berulang dan kembali datang setiap tahun. Ada juga yang mengatakan diambil dari kata ‘adah yang berarti kebiasaan, yang bermakna bahwa umat Islam sudah biasa pada tanggal 1 Syawal selalu merayakannya (Ibnu Madlur, Lisaanul Arab).

Sementara itu, Dawan Raharjo dalam Ensiklopedi Al-Qur’an halaman 40, 2002 menjelaskan bahwa fithrah sendiri bermakna ‘yang mula-mula diciptakan Allah SWT’. Oleh karena itu Idulfitri berarti pada naluri murni kemanusiaan, kembali pada keberagamaan yang lurus, dan kembali dari seluruh praktik busuk bertentangan dengan kesucian jiwa manusia. Kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak Islami. Inilah makna Idulfitri yang asli.

Sudah saatnya Indonesia setara dengan negara-negara lain. Tentunya, juga diperlukan kehadiran Ratu Adil, aparat penegak hukum dan serta elit politik yang tidak hanya mengutamakan kepentingan duniawi. Bukan yang mengabaikan kepentingan rakyat, sedangkan kepentingan pribadi dan kelompok diutamakan. Bukan begundal-begundal yang memperbesar kekuasaannya, serta menumbuhsuburkan kanker ganas korupsi bagi negeri ini. Bukan mereka yang jika tak lalu diadang air, di gurun dirangkakkan, segala daya upaya ditempuh untuk mencapai maksudnya. Bukan mereka yang hanya mengurus citra atau pencitraan semata. Citra memang semata-mata berhubungan dengan persepsi. Menjelang pemilihan umum biasanya banyak kandidat yang sibuk membangun citra untuk menggaet simpati calon pemilih. Biaya pencitraan sendiri bisa memakan biaya ratusan miliar rupiah.
Mereka banyak melakukan rekayasa persepsi. Yang bengkok menjadi lurus, kotor menjadi bersih, dan abu-abu menjadi putih.

Ada satu cara membangun kembali kehidupan sejati dengan penuh suka cita, kebahagiaan, kegembiraan, dan semangat baru menyongsong normal baru dengan berulangnya berbagai kebaikan-kebaikan. Seperti dalam bentuk ketaatan kita kepada aturan baru seperti protokol-protokol kesehatan penanganan covid-19 yang telah diterbitkan pemerintah. Untuk menjaga kokohnya konstruksi negara pascaidulfitri di lingkaran pandemi tentu diperlukan upaya bela negara dari masyarakat berupa kesadaran menerapkan protokol kesehatan dengan physical distancing (jaga jarak), mencuci tangan dengan sabun, dan tertib menggunakan masker.

Oleh karena itu, dengan momentum Idulfitri 1441 H yang baru lalu, marilah kita bersama-sama mulai bergerak kembali mengatasi terseok-seoknya perekonomian di Indonesia saat ini. Kita berdoa agar kasus-kasus mengambang (floating case) terhadap kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang berakhir hanya sebagai diskursus sepanjang masa dapat sirna. Bangsa Indonesia sudah merdeka lebih dari 70 tahun, tetapi masih belum mencapai cita-cita kemerdekaan yakni masyarakat yang maju, adil dan makmur.

Anggap kita lahir sebagai kertas putih yang siap menjaga citra putih tersebut dari noda. Mengutip Syair Kebangkitan milik Deddy Mizwar bahwa kita perlu bangkit. Bangkit itu takut, takut untuk korupsi. Bangkit itu malu, malu jadi benalu, malu makan yang bukan haknya. Dalam nuansa bulan syawal yang kaya spiritualitas ini tahun ini, tugas kita hanya bangkit dan berdiri tegak mempertahankan citra fitri tersebut. Mari, dengan kekuatan spiritualitas momen Idulfitri di lingkaran pandemi kita bergerak. Bukankah seorang filsuf AS, Ralph Waldo Emerson pernah mengatakan bahwa orang hebat adalah mereka yang sanggup melihat bahwa spiritualitas lebih kuat dari hal apapun dalam hidup. Termasuk peningkatan spiritualitas kita melawan covid-19, bukan?(*/ema)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kabupaten Banjar Sumbang Kasus HIV Tertinggi di Kalsel

Jumat, 12 Desember 2025 | 11:10 WIB
X