Akademisi di bidang perikanan dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Misla Alfitri menilai tak semua masyarakat tutup mata dengan fenomena ini. Sebagian sudah merasakan dampak sulitnya mencari ikan.
“Masyarakat yang sebagian lagi terpaksa, karena mata pencaharian utamanya. Pemerintah harus memberikan solusi atau alternatif bagi orang-orang menangkap anak ikan menjadi pencarian utama,” kata dosen lulusan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) itu, Selasa (6/2).
Sejauh ini praktiknya, pemerintah lebih banyak melakukan penyuluhan tentang regulasi. Tapi, tidak memberikan solusi atau alternatif lain sebagai mata pencaharian pengganti. “Bukan hanya pedagang yang perlu diberikan kesadaran. Konsumen anak ikan juga perlu diperingatkan,” tambahnya.
Apakah mungkin perdagangan anak iwak bisa dihentikan? Menurutnya, tentu saja bisa. “Namun, perlu waktu dan kerja sama antara pencari ikan, pengepul, pedagang, pemerintah, dan konsumen,” jawabnya.
\Misla menawarkan solusi yang bisa dilakukan pemerintah untuk menghentikan kebiasaan menangkap anak ikan bagi pedagang. Caranya, pemerintah memberikan bantuan usaha yang diawasi sebagai alternatif mata pencaharian pengganti.
Seperti bantuan budi daya ikan keramba, bantuan budi daya ikan kolam terpal, UMKM pengolahan kerupuk ikan, ikan kering, wadi samu, dan lainnya. “Sesuai sumber daya ikan setempat. Memaksimal program-program Bumdes, dan bekerja sama dengan kampus dan praktisi perikanan setempat untuk praktiknya secara berkala,” jelasnya.
Jadi tidak mematok harus ikan jenis atau spesies apa, dan ukurannya seperti apa. Intinya olahan ini bisa menggunakan ikan jenis apa saja dengan berbagai ukuran. Pengolah pakasam bisa diberi pengertian untuk dapat memilah ikan-ikan yang boleh dan tidak boleh digunakan. “Tanpa mengurangi produksi, dan minat terhadap produk tersebut,” tuntasnya. (*)