Terhitung sejak Januari hingga awal Mei 2024, Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Tanah Bumbu (Tanbu) telah menerima laporan 14 kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.
Bak fenomea gunung es, angka tersebut dikhawatirkan hanya sebagian kecil dari kenyataan. Pasalnya, banyak kasus kekerasan seksual yang tidak terungkap dan tidak dilaporkan, sehingga jumlah sebenarnya bisa lebih tinggi.
Hal itu terungkap dalam temuan DP3AP2KB di lapangan. Menurut Kepala DP3AP2KB Tanbu, Erli Yuli Susanti ketika dihadapkan dengan kasus kekerasan pada perempuan dan anak, banyak korban enggan melapor.
Erli mengatakan faktor ekonomi dan minimnya pengetahuan masyarakat ihwal hukum jadi salah satu pemicu. Seperti korban KDRT, kata dia, seringkali enggan melapor karena ketergantungan ekonomi pada pelaku alias suami.Selain itu, rasa malu dan stigma negatif terhadap korban kekerasan juga menjadi penghambat lain.
"Padahal, penting untuk diketahui bahwa perempuan dan anak-anak dilindungi undang-undang," tegas Erli, Selasa (7/5/2024). Ia mengatakan, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terjadi 17.000 kasus kekerasan terhadap anak, sepanjang 2023. Dari angka itu, 70 persen dari kasus tersebut adalah kekerasan seksual kepada anak. Di Tanbu sendiri terdapat 14 kasus yang dilaporkan ke UPTD sepanjang 2014.
Rinciannya, tiga kasus istri mengalami KDRT, sembilan kasus kekerasan seksual kepada anak, dan dua kasus Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).
“Kekerasan seksual kepada anak perempuan dilakukan orang terdekat, seperti ayah kandung dan tiri, paman, kakek,” katanya. Ia pun mengimbau para korban untuk tak ragu melapor. Negara, kata dia, akan melindungi privasi dan memberikan pendampingan bagi para korban.
Sementara itu, Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Lambung Mangkurat (ULM) 2022–2024, Lena Hanifah, mengatakan perempuan dan anak adalah kelompok rentan terhadap kekerasan.
Menurut Lena, kerentanan ini disebabkan oleh hambatan dalam akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dari sumber daya. Perempuan dan anak seringkali mengalami kesulitan dalam mendapatkan keempat hal tersebut.Salah satu faktor yang menyebabkan kerentanan ini adalah stigma budaya dan agama yang disalahpahami.
Hanifah mencontohkan stigma bahwa perempuan adalah makhluk seksual. Hal ini berakibat pada anggapan bahwa ketika perempuan diam dan enggan melapor ketika menjadi korban, justru dianggap sebagai hubungan suka sama suka.
"Ada budaya yang menganggap diam berarti setuju. Jadi kesalahpahaman yang disalahgunakan lagi," ujar Lena usai menjadi narasumber sosialisasi.Untuk mengatasi hal tersebut, Hanifah menekankan pentingnya sosialisasi masif kepada masyarakat. Sosialisasi ini harus dilakukan secara sinergis oleh semua pihak, karena pencegahan dan penanganan kekerasan adalah dua hal yang saling berkaitan.
"Penanganan yang baik pada akhirnya membawa pencegahan," tandasnya. Sebagai informasi, DP3AP2KB Tanbu menggelar Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Selasa (7/5/2024). Sosialiasi ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melindungi anak dan perempuan di Tanbu, sekaligus memberi pemahaman kepada korban kekerasan agar berani melapor. (*)