Setelah laporan investigasi Kotak Pandora ULM Terbuka terbit pada edisi 25 September 2024, banyak yang terpicu untuk speak up. Salah seorang peneliti di badan riset daerah di Kalimantan Selatan menghubungi Radar Banjarmasin.
Ia mengungkap, peneliti yang notabenenya ASN fungsional, diwajibkan memenuhi standar hasil kerja minimal yang ditetapkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Padahal, dunia penelitian berbasis akademik kampus tentu berbeda dengan iklim birokrasi pemerintahan.
Situasi ini menjerat peneliti madya pada fungsi penelitian dan pengembangan daerah. Mereka diharuskan memiliki publikasi di jurnal bereputasi internasional. “Peneliti seperti kami ini sulit membuat penelitian yang bisa menembus standar jurnal bereputasi internasional. Lha, guru besar saja sulit menembus, apalagi peneliti ASN seperti kami,” ujarnya, pekan lalu.
Baca Juga: Mafia Jurnal Juga Ada di Kampus Lain, Cuma Tak Sebesar Kasus Skandal Guru Besar ULM
Kondisi ini membuat praktik riset dan jurnal abal-abal menjadi terbuka. Jurnal predator mendapat pangsa pasar yang lebih luas di luar lingkungan perguruan tinggi. “Di satu sisi kami terikat aturan institusi pembina di tingkat pusat yang mengharuskan peneliti daerah mempublikasikan di jurnal internasional,” ujarnya.
Akibatnya, para peneliti ini mengalami stagnasi. Mereka kesulitan mengajukan pangkat dan jenjang karir karena mentok pada aturan standar hasil kerja minimal yang ditetapkan BRIN.
“Karir dan pangkat sulit untuk berkembang karena aturan yang memberatkan. Kami ini ibarat koki yang jualan nasi goreng di warung pinggir jalan, tapi diwajibkan menyajikan nasi goreng dengan standar chef level internasional,” keluhnya.
Belum lagi bagi peneliti dari jabatan struktural yang mengikuti penyetaraan dalam fungsi jabatan fungsional. “Bagi peneliti yang sebelumnya struktural dan masuk penyetaraan fungsional sebagai peneliti akan mengalami kesulitan mengikuti standar penulisan ilmiah ini,” ujarnya.
Dampak terbesar yang dirasakan adalah kurangnya kontribusi peneliti dalam memberikan analisis dan kajian ilmiah untuk kebijakan daerah. Mereka dituntut melakukan riset dan publikasi standar internasional, tapi banyak di antara mereka yang tak memiliki kompetensi itu.
“Lalu, buat apa fungsi jabatan fungsional peneliti ini dibuat? Kami tak bisa berkontribusi maksimal untuk daerah. Karier dan pangkat kami juga mentok karena tak bisa memenuhi standar internasional,” ujarnya. Ia lantas menyebut kondisi di lembaganya tak jauh beda dengan yang dialami oleh guru besar di ULM. Sama-sama terjebak pada sistem yang membuka celah dan peluang terjadinya praktik mafia jurnal.
Ia berharap pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah bisa meninjau ulang kebijakan terkait penelitian dan pengembangan ini. Terutama aturan standar hasil kerja minimal yang wajib dipenuhi. “Lebih baik menilai hasil riset dan kajian ilmiah yang diimplementasikan menjadi program unggulan daerah. Itu membuka ruang inovasi, sekaligus membuat kami lebih kreatif mencari hal apa saja yang relevan untuk diterapkan di masing-masing daerah,” bandingnya.(*)