BANJARMASIN – Meski diklaim menempati peringkat 2 nasional di bawah Bali sebagai provinsi berpenduduk miskin terendah di Indonesia, jumlah penduduk miskin di Kalsel ternyata tak sedikit. Sesuai data di aplikasi Satu Data Sosial Banua (Datu Soban), Dinas Sosial (Disnsos) Kalsel mencatat jumlah penduduk miskin di Kalsel mencapai 129.035 orang (hingga Mei 2025). Dari 13 kabupaten/kota di Kalsel, penduduk miskin paling banyak ada di Kabupaten Banjar, jumlahnya mencapai 22.515 orang.
Setelah itu disusul, Kabupaten Tabalong dengan jumlah penduduk miskin mencapai 17.714 orang. Sedangkan, jumlah penduduk miskin paling sedikit di Kabupaten Kotabaru, yakni sebanyak 1.380 orang.
Sementara, di Ibu Kota Provinsi Kalsel, Banjarbaru, total penduduk miskin mencapai 8.327 orang. Disampaikan Plt Kepala Dinsos Kalsel, Gusti Yanuar Noor Rifai jumlah penduduk miskin di Kalsel mengalami penurunan jika dibanding tahun 2024 lalu yang mencapai 226.443 orang.
Paling tinggi ada di Kabupaten Banjar, sebanyak 66.400 orang, disusul Tabalong sebanyak 24.059 orang. “Secara nasional jumlah penduduk miskin di Kalsel berada nomor 2 paling sedikit di Indonesia, di bawah Provinsi Bali,” terang Rifai, Senin (16/6/2025).
Angka penduduk miskin di Kalsel sebutnya cenderung dinamis. Terlebih, ada beberapa program Pemerintah yang dijalankan untuk mengentaskan kemiskinan.
Di Kalsel, pihaknya memiliki beberapa upaya pengentasan kemiskinan. Yakni melalui, bantuan sosial pemenuhan pangan (sembako). Selain itu sebutnya pemberian makan lansia yang masuk data Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), bantuan usaha ekonomi produktif, bantuan usaha pahlawan Ekonomi Nusantara, bantuan rehabilitasi sosial rumah tidak layak Huni, dan bantuan anak terlantar, anak putus sekolah, remaja terlantar, tuna sosial, penyandang cacat, penyandang disabilitas, netra, serta lanjut usia.
“Dari program itu, patut kita syukuri bersama jumlah penduduk miskin di Kalsel mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2024 lalu,” papar Rifai.
Seperti diketahui, Bank Dunia resmi mengubah standar garis kemiskinan global dengan meninggalkan Purchasing Power Parity (PPP) 2017, dan menggantinya dengan PPP 2021.
Sebagai pembanding, pada April 2025 lalu, Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook masih menggunakan USD PPP 2017 untuk menghitung kemiskinan setiap negara. Saat itu, sebanyak 171,8 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Sedangkan, total populasi Indonesia pada 2024 mencapai 285,1 juta penduduk.
Dengan kata lain, berdasarkan acuan PPP 2017, Bank Dunia mencatat ada 60,3 persen rakyat miskin di Indonesia.
Perihal ini, Rifai mengaku pihaknya masih menunggu sinkronisasi data bersama Badan Pusat Statistik (BPS). “Data angka kemiskinan tak hanya dari Kemensos, tapi juga bersama BPS. Yang pasti, program pengentasan kemiskinan terus berjalan,” tekannya.
Terpisah, pengamat kebijakan publik FISIP ULM, Arif Rahman Hakim menyampaikan banyak hal yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia. Mulai dari sistem pendidikan hingga ketersediaan lapangan kerja yang layak, serta daya saing sumber daya manusia di dunia kerja.
Menurutnya, sistem pendidikan bukan hanya di lembaga pendidikan, tapi bagaimana Pemerintah mendorong pola pendidikan mulai dari keluarga. “Peranan orang tua dalam membentuk karakter dan membekali pendidikan non formal juga tidak kalah penting,” sebutnya.
Dia menambahkan ketersediaan lapangan kerja yang layak juga harus menjadi perhatian Pemerintah Daerah. Seperti memastikan gaji, jaminan perlindungan kerja, jaminan kesehatan dll. Sehingga, karyawan bisa hidup layak dengan pekerjaannya.
Dalam mengentaskan kemiskinan, Pemerintah juga harus meningkatkan daya saing sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif. Sehingga, SDM banua bisa mengembangkan diri untuk menghasilkan pendapatan tambahan.