Pembangunan mal di Kota Sampit tak mengantongi sejumlah izin yang harusnya dikeluarkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim). Investasi dengan modal besar itu akhirnya dihentikan sementara sampai semua izin lengkap. ”Yang bersangkutan tidak memiliki izin lainnya, maka kami hentikan dulu sementara pembangunan di lapangan sampai ada hasil tim pemda untuk menilai di lapangan. Hasil itu kami tunggu,” kata Diana Setiawan, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kotim, Rabu (6/3/2024).
Keputusan penghentian pembangunan tersebut diambil berdasarkan kesepakatan dalam rapat internal bersama satuan organisasi perangkat daerah (OPD) terkait yang dipimpin Asisten II Setda Kotim, Alang Arianto. Rapat itu untuk menyamakan persepsi sekaligus menelaah dokumen terkait pembangunan mal di SOPD masing-masing. Beberapa SOPD yang terlibat, antara lain Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan, Dinas Koperasi UKM Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH).
Baca Juga: Antisipasi Terulangnya Keracunan Massal, Pemkab Kotim Tetapkan Pasar Ramadan di Jalan S Parman
Menurut Diana, dua izin yang belum dipenuhi, yakni izin bangunan dan izin untuk mal yang direncanakan. Pembangunan mal yang dilakukan PT Tirtama Gemilang Sampit hanya memiliki Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) dari DLH. Selain itu, telaahan tata ruang dari Dinas PUPR. ”Dua dokumen itu memang ada dan NIB (nomor induk berusaha) juga ada, walaupun klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) memang belum clear,” katanya. Selain itu, lanjutnya, ada analisis dampak lingkungan lalu lintas yang dikeluarkan Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan. Dia menduga hal itu karena lokasi pembangunan berdekatan dengan jalan nasional, sehingga investor yang bersangkutan memilih mengurus langsung dokumen andalalin ke kementerian. Kendati demikian, Diana menegaskan, sejumlah dokumen yang disebutkan tersebut belum bisa menjadi landasan pembangunan. Adapun berdasarkan NIB yang diterbitkan secara daring pada Oktober 2022 silam, ada beberapa klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) yang dipilih perusahaan tersebut, yakni perdagangan eceran berbagai macam barang, utamanya makanan, minuman, atau tembakau.
Kemudian, perdagangan eceran alat tulis menulis dan gambar, perdagangan eceran berbagai macam barang yang utamanya bukan makanan, minuman, atau tembakau di department store, perdagangan eceran sepatu, sandal, dan alas kaki lainnya. ”Dari KBLI ini, kami mendapat gambaran barang apa saja yang akan mereka jual nantinya. Jadi, dugaan bahwa bangunan tersebut akan dijadikan swalayan memang benar,” ujar Diana.
Adapun berdasarkan dokumen UKL-UPL, yakni tentang pembangunan pusat perdagangan syariah dengan luas lahan 18.170 meter persegi. Selain NIB dan UKL-UPL, perusahaan tersebut belum memiliki perizinan yang seharusnya dimiliki dalam pembangunan mal atau swalayan. Izin yang wajib dimiliki tersebut, yakni persetujuan bangunan gedung (PBG) atau sertifikat laik fungsi (SLF), izin usaha toko swalayan (IUTS), surat izin tempat usaha (SITU), izin pemasangan reklame, hingga persetujuan analisa dampak lalu lintas (andalalin).
Pihaknya akan membentuk tim teknis yang dipimpin Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan dalam rangka penilaian ulang ke lokasi pembangunan. Hasil penilaian teknis ini nantinya juga akan menentukan layak atau tidak pembangunan tersebut diberikan izin PBG atau SLF. ”Apakah nanti (pembangunan mal) boleh lanjut atau tidak, berdasarkan hasil penilaian tim teknis ini nantinya,” ujar Diana. Sejauh ini, tambahnya, komunikasi dengan pihak perusahaan terbatas, karena yang ada di lokasi pembangunan atau Sampit hanya pengawas dan kepala tukang, sedangkan pimpinan perusahaan atau pemilik berada di Kalimantan Barat. Pihaknya akan menyurati pihak perusahaan agar segera mengurus dokumen perizinan yang diperlukan.
”Kami memberikan ruang untuk mengurus perizinannya. Karena pada dasarnya pemerintah daerah sangat mendukung investasi, yang penting disesuaikan dengan aturan yang ada,” ucapnya. Menurut Diana, pembangunan mal ini sudah dimulai sejak 2021. Artinya, kurang lebih tiga tahun sejak awal pengerjaan. Akibatnya, sejumlah pihak menuding bahwa pemerintah daerah kecolongan atas bangunan yang dikerjakan tanpa izin tersebut.
Menanggapi hal itu, Diana mengaku ada miskomunikasi antara pejabat sebelumnya dengan yang sekarang. Karena saat pembahasan hasil telaah tata ruang semua OPD dilibatkan, namun setelah pergantian pimpinan dan perubahan struktur OPD pembahasan tersebut tidak dilanjutkan. ”Informasi yang lama dan yang baru tidak nyambung, setelah mencuat baru diketahui. Makanya, tadi ketika Dinas Cipta Karya membuka dokumennya, ada beberapa dinas yang tidak nyambung,” jelasnya. Miskomunikasi itu telah diselesaikan dan koordinasi antara SOPD diperkuat agar tidak menghadapi permasalahan yang sama.
Polemik tersebut mencuat setelah Bupati Kotim Halikinnor sebelumnya mengaku terkejut dengan pembangunan mal baru di jalan lingkar utara. ”Saya juga baru tahu di lingkar utara ada dibangun mal besar dan bangunannya hampir 90 persen. Tadi saya langsung perintahkan Sekda melakukan penelusuran lebih lanjut, karena kabarnya mal ini investasi dari luar,” ujar Halikinnor.
Menurut Halikinnor, bangunan mal itu lepas dari pengetahuannya, karena perizinan untuk hal tersebut memang tidak melalui dirinya. Mekanismenya saat ini menggunakan Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik atau sistem Online Single Submission (OSS) di Dinas Penanaman Modal Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) yang terintegrasi secara digital sampai ke pemerintah pusat. (ang/ant/ign)