Kebijakan food estate merupakan salah satu Program Strategis Nasional yang ditetapkan dalam PP Nomor 109/2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional di era Presiden Joko Widodo. Proyek food estate era 3 berlokasi di lahan bekas pengembangan lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah seluas 30.000 ha.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman beberapa kali meninjau lahan cetak sawah hingga penyediaan alat-alat pertanian di Desa Dadahup, Kabupaten Kapuas beberapa waktu lalu. Hal ini menandakan keseiusan pemerintah menggarap program ini. Proyek tersebut sebenarnya merupakan bentuk usaha penyediaan cadangan pangan nasional saat terjadi Pandemi Covid-19 dan fokus pada pertanian padi. Akan tetapi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng menilai proyek itu gagal lantaran tidak melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan, sehingga banyak informasi dan pengetahuan yang terlewat.
Informasi yang dikutip dari BBC yang dirilis pada 15 Maret 2023, seorang warga lokal, Rangkap, menyatakan warga tidak pernah diajak musyawarah oleh perangkat desa soal program food estate. Dalam hal ini pembukaan kebun singkong. Hasil investigasi dari Pantau Gambut, Walhi Kalteng, dan BBC Indonesia mengungkap adanya masalah serius terkait hilangnya tutupan pohon tanpa hasil pangan singkong di sejumlah area seluas 3.964 ha pada tahun lalu. Selama periode Januari hingga Oktober 2022, tim investigasi Pantau Gambut juga menemukan bahwa ada 10 desa yang mengalami indikasi kehilangan tutupan pohon di Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas, dan Gunung Mas.
Desa Humbang Raya menjadi sorotan dengan mencatatkan kehilangan terbesar mencapai 459 hektare, diikuti Pilang Munduk dengan luas 213 hektare, dan Tumbang Jalemu dengan 192 hektare (Quin Pasaribu, 2023). ”Masalah ini tampaknya terkait dengan pengembangan food estate yang telah dilakukan sejak pertengahan tahun 2020. Pengembangan ini dilakukan di areal lahan sawah eksisting seluas sekitar 30.000 hektare. Tersebar di Kabupaten Pulang Pisau sebanyak 10.000 hektare dan Kapuas 20.000 hektare,” kata Bayu Herinata, Direktur Walhi Kalteng, Jumat (18/10).
Bayu menjelaskan, hal itu menimbulkan keprihatinan terhadap dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkannya, serta memunculkan pertanyaan terkait keberlanjutan ekosistem dan keberlangsungan mata pencaharian masyarakat setempat. ”Diperlukan langkah konkret untuk mengatasi masalah ini demi menjaga keseimbangan ekosistem dan mendukung keberlangsungan hidup masyarakat,” katanya.
Menurut Bayu, kegagalan food estate sering kali dapat diatribusikan pada kurangnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek tersebut. Ketika masyarakat lokal tidak dilibatkan secara aktif, proyek cenderung menghadapi resistensi yang kuat atau bahkan penolakan terhadap pelaksanaannya. ”Tanpa pemahaman mendalam tentang kebutuhan, keinginan, dan kekhawatiran masyarakat setempat, desain dan implementasi food estate menjadi rentan terhadap kegagalan. Lebih jauh lagi, kurangnya partisipasi masyarakat dapat mengakibatkan kebijakan yang tidak sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi lokal, sehingga mengurangi kesempatan untuk mencapai kesuksesan jangka panjang. Misalnya, penempatan lokasi yang tidak memperhitungkan hak atas tanah masyarakat adat atau tanpa memperhatikan permukiman tradisional dapat memicu konflik lahan yang merugikan bagi kedua belah pihak,” papar Bayu.
Selain itu, dia melanjutkan, ketika masyarakat merasa tidak memiliki kepemilikan terhadap proyek dan tidak merasakan manfaatnya secara langsung, mereka cenderung tidak memiliki insentif untuk mendukung atau memelihara keberlanjutan proyek tersebut. Oleh karena itu, tegas Bayu, melibatkan masyarakat lokal dalam setiap tahap perencanaan, implementasi, dan evaluasi food estate merupakan kunci penting untuk menghindari potensi kegagalan dan memastikan kesuksesan jangka panjang dari proyek tersebut. Melihat food estate yang dinilai kurang berhasil, Bayu menyarankan agar pengelolaan food estate sebaiknya menggunakan pendekatan agribisnis yang melibatkan pemberdayaan komunitas lokal dalam proses pengembangan daerah. Namun, tambahnya, pembukaan lahan untuk keperluan lumbung padi atau food estate dapat menimbulkan potensi masalah tambahan apabila tidak direncanakan secara matang.
”Program food estate masih membutuhkan evaluasi secara menyeluruh. Implementasi food estate harus didasarkan pada penelitian akademis yang mendalam, sehingga produksi dan ketersediaan pangan dapat ditingkatkan secara optimal dan pengeluaran anggaran dapat disesuaikan dengan lebih efisien,” katanya. Menurutnya, pemerintah juga harus mempertimbangkan potensi pangan lokal yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan dan sosial masyarakat secara khusus. Hal itu agar anggapan food estate gagal karena tidak melibatkan masyarakat dapat dihilangkan. (sbn/ign)