SAMPIT- Penolakan terhadap program transmigrasi yang direncanakan pemerintah terus bermunculan dari berbagai elemen masyarakat. Program ini dianggap sudah ketinggalan zaman, tidak sesuai dengan perkembangan saat ini, dan berpotensi menimbulkan konflik baru dengan masyarakat setempat.
Selain Dewan Adat Dayak (DAD) Kotim yang sebelumnya telah menyuarakan penolakannya secara terbuka, kelompok masyarakat adat Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) juga menyampaikan sikap serupa. Dalam sebuah video yang beredar luas, lebih dari seratus anggota Pasukan Merah secara tegas menolak keberadaan program transmigrasi di wilayah Kalimantan.
Baca Juga: Soal Transmigrasi ke Kalbar, Pemprov Kalbar Prioritaskan Penduduk Lokal
Pemerintah pusat diminta untuk menghentikan sementara pelaksanaan program tersebut dan melakukan kajian menyeluruh dari aspek sosial, budaya, serta hak-hak masyarakat adat. Langkah ini dinilai penting agar penduduk asli tidak merasa tersingkir atau hanya menjadi penonton di tanah mereka sendiri, sementara para pendatang mendapatkan berbagai fasilitas.
Menanggapi maraknya penolakan tersebut, pemerhati kebijakan publik di Kotim, Muhammad Gumarang, berpendapat bahwa konsep pemindahan warga dari daerah padat ke wilayah yang lebih sepi penduduk sudah tidak sesuai dengan konteks zaman sekarang. “Model pemindahan penduduk seperti itu sudah tidak relevan. Perlu ada pendekatan baru yang lebih modern agar program transmigrasi bisa berjalan secara alami,” ujar Gumarang, Kamis (17/7/2025).
Menurut Gumarang, saat ini bukan lagi era pemerintahan Presiden Soeharto yang dengan mudahnya memindahkan penduduk dalam jumlah besar ke daerah lain, seperti Kalteng. Hal tersebut akan menimbulkan reaksi keras dari kalangan penduduk setempat. ”Sekarang tidak bisa lagi. Pemerintah harus berpikir bagaimana transmigrasi alamiah bisa terjadi dengan pola modernisasi,” ujarnya. Menurut Gumarang, transmigrasi bisa dilakukan apabila daerah tujuan dibangun terlebih dulu hingga lebih maju dalam segala bidang. Baik infrastruktur, ekonomi, dan kesejahteraan warga yang tidak lagi hidup dalam garis kemiskinan.
”Semestinya pemerintah pusat kalau mau menjadikan Kalteng tujuan transmigrasi, dipersiapkan dan dibangun dulu supaya maju. Baik itu ekonomi, infrastruktur, dan hilirisasi pabrik ada di Kalteng,” katanya. ”Maka, secara otomatis pemindahan penduduk dari Jawa ke Kalteng akan berjalan sendiri tanpa harus pemerintah mengucurkan anggaran besar dari APBN untuk menyiapkan lahan dan rumah serta modal hidupnya,” tambah Gumarang.
Dia melanjutkan, apabila masyarakat Kalteng sudah sejahtera dari segi ekonomi, maka tidak ada masalah dengan program itu. ”Ini bisa dikatakan sebagai transmigrasi kekinian atau modernisasi,” ujarnya. Apabila transmigrasi dipaksakan dengan kondisi seperti sekarang, tambahnya, program itu akan mendapatkan penolakan dan memicu persoalan di daerah. Hal itu disebabkan persoalan kemiskinan yang masih membelit sebagian masyarakat hingga konflik sosial dan pertanahan yang sangat kompleks. ”Kita harus mengakui, masyarakat lokal saat ini dihadapkan dengan banyak masalah. Hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan konflik pertanahan masih jadi persoalan utama. Lalu, tiba-tiba datang para transmigran yang difasilitasi negara. Diberikan lahan dan sertifikatnya, serta kebutuhan hidup, secara otomatis ini akan memicu kecemburuan. Artinya, program transmigrasi pola lama ini sudah tidak relevan,” katanya.
Selain itu, Gumarang berpandangan, program transmigrasi juga berpotensi jadi ladang korupsi dan konflik. ”Hal itu karena anggarannya begitu besar membebani APBN, serta membuka ruang-ruang untuk celah pelaku korupsi,” katanya. (ang/ign)