Poin yang disepakati, yakni tentang denda. “Itu jelas riba kalau ada denda. Jadi denda dihilangkan. Tidak ada denda keterlambatan,” imbuhnya. Kemudian, tidak ada penyitaan ketika pembiayaan nasabah bermasalah di kemudian hari. ”Kadang uang yang sudah masuk bahkan tidak dianggap.
Di bank syariah, enggak. Dihitung dana yang masuk, kemudian dijual kepada pihak ketiga. Kemudian kalau ada kelebihan maka milik konsumen. Sedangkan utang yang harus dibayar tetap dibayar. Diikuti oleh bank semua itu. Kami awasi,” bebernya.
Sidiq menegaskan, yang membedakan hanya akad. Apabila melalui bank syariah, maka hanya mengubah akad. ”Kalau mereka (bank syariah) bisa mengikuti ketentuan, kita siap. Yang haram ‘kan akadnya. Bukan banknya. Yang menyebabkan riba adalah akadnya,” terangnya. Sementara untuk mengatasi kredit macet, pria ramah itu mengatakan mekanismenya tidak jauh berbeda dengan PT Syahdina Land Putra.
Yakni rumah dijual atau ditawarkan ke pihak ketiga dengan syarat hasil penjualan adalah hak pihak pertama. “Opsi terakhir beli kembali. Ada tiga kategori konsumen. Pertama mampu dan bagus bayarnya. Selanjutnya tidak mampu dan tidak bisa membayar. Ketiga mampu dan enggak mau bayar,” sebutnya.
Menggeluti bisnis properti selama dua tahun terakhir, Sidik tak menampik kepemilikan syariah mengalami tren peningkatan. Dampaknya ada yang menerapkan embel-embel syariah dalam proses memasarkan produknya. Yang justru, sambung dia, justru tidak syariah.
“Contohnya, cara dia mempromosikan. Katanya, jaraknya 5 menit-an dari, misalnya rumah sakit umun. Itu dalam syariah tidak boleh. Harus pakai jarak (satuan) dan dijelaskan dengan mengukur pakai apa,” tuturnya. Selain itu, dalam proses memasarkan tidak menutup aurat. “Lalu angsuran Rp 1 jutaan. Harusnya dipastikan berapa. Itu gharar namanya,” kata Sidik. (*)
EDITOR:
- ISMET RIFANI
TIM PENULIS:
- MUHAMMAD RIZKI
- CATUR MAIYULINDA
- DINA ANGELINA
- RADEN RORO MIRA