Tangis Tinung tak kalah meraung. Anak gadis kelas empat sekolah dasar itu juga dinyatakan OTG dan harus isolasi mandiri bersama Tiwi yang mengemas air matanya diam-diam. Orang-orang sekampung menonton penjemputan itu dengan berbisik-bisik. Tiwi menurunkan roti-roti dari etalase. Tak seseorang pun rasanya yang akan membeli sesuatu dari keluarga yang terdeteksi Covid-19.
“Tiwi, kalau jualan roti tidak laku, kamu bantu laundry saja di rumah Aminah.” Pesan mamak sebelum masuk ambulans.
“Tiwi dan Tinung OTG, Mak, ndak boleh ke mana-mana.”
Mamak tak dapat berkata apa-apa lagi. Diusapnya tetes air mata yang mengalir di sudut-sudut mata tua. Mata yang meneduhkan Tiwi dan Tinung semenjak mereka dalam buaian dan menatap jauh ke langit arasy setiap tengah malam melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dan mendoakan keselamatan dunia-akhirat.
Empat belas hari setelah perawatan. Dikabarkan dari rumah sakit, abah meninggal dunia. Lalu mamak menyusul dua hari berikutnya. Hati Tiwi dan Tinung teriris, nyanyian burung seperti berita kematian yang sunyi. Pemakaman terakhir mereka tak dapat diiringi. Tiwi dan Tinung hanya bisa salat dan melangitkan doa panjang untuk abah dan mamak tercinta.
Kesedihan berlanjut, namun roti-roti tetap harus dibuat untuk menghabiskan sisa tepung. Paling tidak untuk dimakan sendiri dan berbagi dengan empat merpati yang setiap pagi selalu absen di jendela Tiwi.
“Tinung … apa kabar sekolahmu, Dik?”
“Aku ‘kan harus sekolah daring, Kak. Mana ada kuota. Hape juga gantian ini. Mana mati-nyala.”
“Sabarlah… Kudengar pemerintah akan membagikan kuota gratis untuk belajar. Juga satu paket sembako untuk kita, sebulan sekali.”
Namun, Tinung hanya melengos, mata bulatnya yang biasa berbinar oleh nyala cita-cita kini perlahan padam. Dia asyik menggambar di atas papan tulis hitam milik bapak sewaktu sempat menjadi guru honor. Entah apa yang digambarnya, benang ruwet kehidupankah?
Sementara Tiwi mengaduk rotinya dengan spatula yang telah disterilkan. Dengan memakai sarung tangan plastik, Tiwi membanting satu per satu adonan roti sampai kalis dan mengembang. Bantingan Tiwi kali ini cukup keras, membuat kawanan merpati tersentak dan refleks mengepakkan sayap, barangkali takut. Roti-roti yang telah masuk cetakan siap dipanaskan dalam oven selama 25 menit atau hingga 180 derajat celcius. Sematang itu, rasanya sudah aman untuk dihidangkan.
Sementara itu, ramai di luar jendela rumah panggung mereka orang berteriak-teriak meminta sesuatu.
Tiwi menengok sembari menunggu matangnya roti.
“Jatahku belum, Pak.”
“Saya juga belum…”