“Sabar-sabar… semua yang punya kartu akan dapat jatah!”
Orang berseragam cokelat muda tampak membagi-bagikan kotak, sepertinya berisi sembako. Tiwi hendak turun mengantre, tapi tidak boleh. Tiwi dan Tinung dinyatakan orang tanpa gejala (OTG). Tak seberapa lama kerumunan antrean itu bubar setelah mendapatkan masing-masing jatahnya. Tiwi melambaikan tangan ke arah petugas.
“Pak, adakah sembako untuk kami?”
“Lho kok ndak turun tadi, ya habis. Lagipula ini untuk yang punya kartu saja.”
“Kartu, kartu apa ya Pak?”
“KKS. Punya ndak?”
“Ndak punya, Pak.”
“Nah iya, urus dulu kartunya ya, Dik. Ini cuma tinggal tepung roti yang tersisa, ambillah.”
Bapak petugas mulai menurunkan nada suara dan tersenyum simpul pada Tiwi yang menatapnya dengan binar harap.
“Terima kasih, Pak, tapi letakkan saja tepung itu di atas tangga, nanti saya ambil. Bukannya saya ndak bisa sopan, tapi saya ini OTG.”
Bapak petugas itu terbelalak, meletakkan tepung roti sesuai arahan Tiwi dan mlipir dengan mobil bak terbukanya tanpa tanya lagi.
Sementara perasaan Tiwi berkecamuk. “Bagaimana mengurus kartu KKS itu? Aku bahkan tak bisa ke mana-mana sekarang? Pak RT, di manakah bapak? Takutkah dengan OTG?”
Tinung tak diam. Gadis kecil itu mengamati mereka semua dari kejauhan. Dia menguping pembicaraan kakaknya dengan petugas pembagi sembako. Lantas diambilnya sebuah katapel yang dulu dibuatkan abah untuknya. Tinung mengetapel batu ke arah jendela. Darah menggelegak. Merpati yang terbang menyambangi jendela terkena, jatuh, berdarah. Tiwi dan Tinung kaget. Tinung tak bermaksud melukai merpati.
“Aku maunya mengetapel mereka, orang-orang yang serakah dan tak peduli pada kita!” seru Tinung sesunggukan.
Tiwi bergegas turun mengambil merpati kecil yang terluka. Namun, di anak tangga napasnya terengah sesak, diraihnya merpati tetapi dia tak mencium bau amis darah anak dara itu. Dengan setengah menyeret kaki, dia paksakan tubuhnya sampai ke atas. Minum tak berasa, makan roti manis pun tak ada rasanya, anosmia rupanya. Tiwi mulai bergejala.