Suara orang mengaji dari surau lamat-lamat terdengar, tak ada pengeras suara yang bisa dipakai, semua tertimbun. Riuh rendah suara warga yang terluka juga terdengar memanggil nama anggota keluarganya makin ramai. Mereka yang memiliki rumah dari bahan batu bata yang paling banyak terluka dibandingkan dengan berbahan kayu.
Pun mereka yang berdiam di rumah panggung lebih merasakan dampak gempa. Rumah mereka runtuh dan hanya menyisakan bagian atas saja. Banyak korban meninggal dan luka serius karena tertimpa bangunan.
Setelah salat Subuh, ayah Dedi teringat putrinya di desa sebelah. Sekitar 12 km jaraknya. Dia meminta izin istrinya untuk memeriksa keadaan putrinya. Apa mau dikata sambungan telepon terputus. Tiang kabel Telkom semua roboh bersisian dengan tiang listrik. Semua alat komunikasi tidak bisa digunakan.
“Ayah pergi ke Karang Endah sebentar ya, Nak. Untuk lihat keadaan Mbak Ervina mu. Duduk diam di sini. Dengar perkataan ibu mu. Jangan ke mana-mana sampai hari terang, Karena kita tidak tahu seberapa rusaknya desa kita. Ayah takut kakimu terinjak paku, beling atau seng.”
“Hati-hati nggeh, Mas. Bisa jadi jalanan longsor dan jembatan putus. Kalau di jalan ada gempa susulan, sebaiknya Mas cari tempat berlindung,” Suara parau Bu Nur menggambarkan kekhawatiran besar akan keselamatan suaminya.
Dengan langkah mantap Pak Ahad menyiapkan mentalnya untuk mendatangi putri keduanya itu. Dia hanya mengenakan sarung dan bertelanjang kaki. Mengandalkan senter aluminium dengan tiga baterai sebagai penerangan menembus kabut tebal.
Saat melewati gapura batas desa, benar saja terlihat longsor di mana-mana. Jembatan penghubung antar-desa pun putus. Aspal retak menganga. Dengan perlahan ia melewati semua itu. Meskipun harus melintasi sungai berbatu yang sangat dingin airnya.
Sepanjang jalan hati Pak Ahad bergemuruh. Pemandangan semua rumah panggung yang roboh menambah kalut hatinya. Akankah keadaan rumah anaknya sama dengan yang lain?
Sesampainya di depan rumah anak keduanya, Pak Ahad terkejut karena disambut dengan keramaian juga isak tangis. Emosinya mulai menyeruak, pikiran buruknya kini semakin menghantui. Tanpa sadar dia mendorong orang-orang yang dilewatinya. Betapa terkejutnya ia melihat di depannya ada jasad seseorang yang telah ditutupi kain batik panjang.
Dengan tangan gemetar ia menyibak kain batik itu, air matanya menetes dan bibirnya terbungkam. Dia menangis tetapi di dalam hati ia bersyukur. Sejurus kemudian, terlihat menyembul dari keramaian, dua cucu laki-lakinya yang tampak baik-baik saja berada dalam dekapan erat ibunya. Pak Ahad segera memeluk anaknya dengan kuat. Bibirnya terus-menerus mengucap hamdalah.
“Mbak Wati ndak sempat keluar, Yah. Kunci pintunya macet. Jadi dia ditemukan di bawah lemari baju.” Ervina tersedu menceritakan perihal kematian kakak iparnya.
“Kami beruntung bisa sempat lari. Bahkan Masna–adik ipar Ervina, melompat dari pintu atas. Syukurlah ia hanya terkilir.” Dengan sesenggukan ia melanjutkan ceritanya, seraya memeluk erat kedua putranya.
“Alhamdulillah a’la kulli hal. Ucap terima kasih kepada Allah karena telah menjaga kalian selamat dari bencana ini. Jaga anak dan keluarga mu, waspada dengan gempa susulan. Tidak usah mengkhawatirkan kami di Banjar Negara, insyaallah kita bisa melewati semua musibah ini dengan tabah dan ikhlas,” ujarnya menenangkan sambil mengelus bahu putrinya.
Setelah pengebumian anak besannya selesai, Pak Ahad undur diri, ia ingin segera kembali ke rumah. Letih dan perih kaki yang tersayat tak ia hiraukan.
Sekembalinya ia melewati jalan yang telah ia tembus dalam keadaan panik dan khawatir pagi tadi, ia hanya bisa termangu. Dilihatnya sekeliling, retakan aspal yang menganga dalam, longsoran tebing yang hampir memakan seluruh jalan, hingga arus sungai yang dalam dan deras yang ia mustahil seberangi.