Sembari mengulurkan tangan, mencium takjim tangan sang suami, Rusmini kembali mendekatkan wajah ke telinga Joko. Saking dekatnya sampai-sampai bulu roma Joko kembali meremang menimbulkan hasrat.
“Ading nunggui piyan ya, Aa... cari duit yang banyak. Supaya kita lakas sugih,” bisik Rusmini sambil menggelayut manja di bahu Joko. Dikecupnya pipi sang suami sampai bekas lipstiknya yang merona, menempel di sana.
“Uuh, koe itu dik. Bikin Mas mu ini rak karu-karuan.” Joko bertingkah seperti anak SD. Kemudian keduanya cekikikan di teras rumah, sebelum akhirnya Joko melepaskan pelukannya dan menjauhi pekarangan. Rusmini mengiringinya dengan lambaian dan senyuman.
Hamka yang berdiri di samping truk menelan ludah sebab iri. Bagaimana tidak, Rusmini yang bahenol itu begitu menggoda. Joko begitu beruntung. Baru setengah tahun yang lalu mengenal Rusmini, si penjaga warung seksi itu, Joko sudah bisa mempersuntingnya. Sementara Hamka, yang sudah lama mengenal Rusmini tak punya kesempatan.
Diin, diiin...
Joko sudah duduk di belakang kemudi truk, Hamka pun duduk di sebelahnya dengan setia. Tak lepas mata Rusmini menatap lelaki hitam manis yang menjadi suaminya itu, dengan mata berembun. Tapi dipaksakannya tetap tersenyum agar lelaki pujaannya itu tak berat hati pergi mencari nafkah.
Dipandanginya truk dengan bak berwarna kuning itu berjalan pelan menyusuri badan jalan, lalu menghilang di tikungan.
“Ah, ulun ini kenapa sih,” bisik Rusmini pada hatinya.
Titik sebulir air dari mata Rusmini. Sejak sebelum menikah pun dia sudah tahu pekerjaan suaminya. Tak semestinya dia bermanja-manja lalu menghalangi sesuatu yang menjadi kewajiban. Mungkin ini pertanda cinta, tepisnya agar tak lagi berasa galau.
Malam telah semakin gelap. Truk yang dikendarai Joko pun telah jauh dari Samarinda menuju Muara Wahau. Badan truk bergoyangan tak beraturan, sebab melintas jalur yang mulai koyak luas di kiri dan kanan jalan.
“Kapan iki bener’e, jalan kok kaya kudis menahun. Nggak ada mulus-mulusnya. Untung nggak hujan. Kalo nggak udah kayak bubur ini,” keluh Joko.
“Njih Mas, untung dah biasa. Kalo Rusmini yang sampeyan ajak, bisa-bisa sepanjang jalan dia mual. Jalan kaya odong-odong kerasukan setan,” kelakar Hamka. Keduanya gelak tertawa.
“Setel dangdut, Mas?” tanya Hamka. Joko tak menoleh. Matanya fokus ke jalan poros yang minim penerangan. Hanya kepalanya yang mengangguk setuju.
Hamka segera menyetel musik koplo, memenuhi ruang supir. Tubuh kernet itu seketika bergoyang-goyang seirama musik yang menghentak. Joko hanya sesekali tersenyum melihat tingkah Hamka yang asyik menikmati musik.
Joko sendiri sebenarnya tak terlalu menyukai musik dangdut. Padahal Rusmini istrinya jika bernyanyi dangdut tak kalah merdu dari biduan ibu kota. Ini soal selera. Joko malah suka tembang keroncong. Mungkin sebab ibunya yang penggemar keroncong. Semenjak Joko dalam kandungan sudah kerap dijejali alunan keroncong dari senandung sang bunda, meski sumbang.