• Senin, 22 Desember 2025

Ancaman demi Ancaman di Sektor Pertanian

Photo Author
- Senin, 27 September 2021 | 10:45 WIB

“Melalui amandemen, izin lingkungan (untuk pertambangan) sudah keluar 2020 lalu. Sementara izin kelayakan lingkungan untuk irigasi itu keluar 2017. Sudah tumpang tindih,” paparnya.

Kondisi itu memunculkan gejolak. Agustus tahun lalu, masyarakat yang tergabung dalam Forum Sempekat Peduli Gunung Layung Kubar melakukan aksi di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kubar. Mereka menolak perusahaan tambang mengeruk isi perut bumi di empat kampung yakni Kampung Ongko Asa, Pepas Asa, Geleo Asa, dan Geleo Baru.

Dalam tuntutannya, mereka meminta Gubernur Kaltim Isran Noor mencabut IUP PT KW di Kampung Ongko Asa, Pepas Asa, Geleo Asa, Geleo Baru, dan sekitar Kecamatan Barong Tongkok serta Kecamatan Melak. Segera memproses dan memidanakan perusahaan yang melakukan illegal mining.

Menetapkan PT KW sebagai perusahaan bermasalah dan statusnya masuk daftar hitam karena melanggar UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Nomor 32/2009, UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara Nomor 3/2020. Terakhir, pemerintah pusat diminta menegur DLH Kubar dan DLH Kaltim karena ada kesan pembiaran atas pelanggaran yang telah terjadi di lapangan.

“Ada juga jalur hauling. Ini mengancam jalur irigasi persawahan. Tambangnya akan menghancurkan sumber air. Ada 3 ribuan hektare kawasan yang akan hancur. Padahal ada anggaran negara di sana. Seharusnya ini jadi temuan,” bebernya.

Jika berlanjut, kegiatan pertambangan yang sudah beroperasi itu tak hanya menghancurkan pertanian padi gunung, tapi juga padi sawah yang didukung jalur irigasi menggunakan dana APBN dan APBD Kaltim dengan dukungan Perda RTRW Kaltim Nomor 1 Tahun 2016.

“Ada kegagalan kebijakan. Ketidakberpihakan pada ketahanan pangan. Apalagi memastikan melindungi wilayah produktif (pertanian). Logikanya itu wilayah strategis tapi ini dengan mudah diberikan izin tambang,” jelasnya.

Kondisi itu tak hanya terjadi di Kubar. Namun, sejumlah wilayah yang menjadi lumbung pangan. Seperti Samarinda dan Kutai Kartanegara. Meski dalam kasusnya, sejumlah aktivitas pertambangan tak menyentuh langsung lahan pertanian atau persawahan, namun posisinya mengancam sumber air karena berada di hulu.

“Sejumlah pertambangan kami temukan mengancam embung dan waduk yang digunakan untuk irigasi persawahan. Di sisi lain, seharusnya pemerintah tidak melihat dari ketersediaan lahan, namun juga sumber air,” katanya.

Menurutnya, pemerintah hingga kini masih memiliki perspektif merusak. Belum menyentuh pada pemulihan. Padahal, dari sisi kebijakan, Kaltim sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Pascatambang. Namun, karena pemerintah tidak memiliki keinginan kuat, perda itu hanya berada di atas kertas. “Ini perda satu-satunya yang ada di negara ini. Tapi implementasinya tidak ada di lapangan,” sebutnya.

Kaltim juga “seharusnya” memiliki Komisi Pengawas Reklamasi dan Pascatambang. Sayangnya, sejak dibentuk pada 16 Mei 2016, tidak ada tanda-tanda terobosan komisi itu yang diharapkan publik untuk menangani masalah darurat lubang tambang di Kaltim.

Padahal komisi yang direkrut dari latar belakang akademisi dan profesional itu memiliki peran penting. Sebab, diberikan kewenangan hukum untuk bertindak dan menerima laporan masyarakat yang terkait rekomendasi pidana atau perdata terhadap kasus reklamasi pertambangan.

Peraturan Gubernur Kaltim Nomor 53 Tahun 2015 Pasal 5 menyebutkan bahwa “penyampaian hasil pengawasan kepada instansi berwenang mengenai hasil pengawasan yang terindikasi pelanggaran hukum” diharapkan bisa diterapkan oleh masyarakat jika ada pengaduan kepada Komisi Pengawasan Reklamasi Pasca Tambang.

“Harusnya legislator menggunakan hak interpelasi dan hak angket. Panggil gubernur, tanya kenapa ini tak dijalankan,” tegas Rupang.

Hal lainnya, pemerintah juga tak menggunakan peluang atas total 2,4 juta hektare lahan dari 400 lebih IUP yang berakhir masa berlakunya. Termasuk di dalamnya 13 IUP yang dicabut izinnya. Untuk memperbaiki dan mengembangkan kawasan pertanian untuk meningkatkan ketahanan pangan Kaltim. Sebagian lagi bisa digunakan sebagai kawasan terbuka hijau. Karena Kaltim dalam kondisi kemarau itu benar-benar kering. Dan jika musim hujan, muncul fenomena banjir.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X