Meski, kinerja lapangan usaha tambang pada triwulan III sedikit tertahan seiring dengan gangguan cuaca yang kurang kondusif. Hal itu yang membuat harga batu bara terus meningkat, seiring produksi menurun di tengah permintaan yang tinggi. “Terus terjadinya peningkatan harga batu bara tentunya akan menopang proses pemulihan ekonomi,” tuturnya, Rabu (6/10).
Dia menjelaskan, saat ini permintaan batu bara relatif kuat, terutama dari Tiongkok dan India. Lebih 85 persen produksi batu bara Kaltim diekspor ke Tiongkok, India, dan beberapa negara di Asia Tenggara. Sisanya untuk domestik, mayoritas PLN dan industri.
Nilai ekspor Kaltim pada Agustus 2021 mencapai USD 2,44 miliar, atau mengalami kenaikan 33,73 persen dibanding dengan ekspor pada Juli 2021. Sementara bila dibanding Agustus 2020 (y-o-y) mengalami kenaikan 172,16 persen.
Ekspor batu bara cukup berperan dalam mendongkrak kenaikan nilai ekspor secara keseluruhan. Mengingat peranan nilai ekpor non-migas mencapai 96,22 persen terhadap total nilai ekspor. “Kenaikan ekspor ini membuat pemulihan ekonomi Kaltim bisa lebih cepat,” katanya.
Menurutnya, seiring kenaikan ekspor dan perbaikan mobilitas masyarakat, hal itu akan berdampak pada perbaikan konsumsi masyarakat, yang berujung pada pemulihan ekonomi. Apalagi, pertambangan dan penggalian masih memiliki peranan sebesar 44,74 persen terhadap struktur ekonomi Benua Etam, sehingga perbaikan sektor itu akan berdampak besar terhadap percepatan perbaikan ekonomi.
Namun, momen harga batu bara yang tinggi dikhawatirkan akan semakin membatasi laju pengembangan hilirisasi di Kaltim maupun nasional. Terutama karena risiko dan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan proyek hilirisasi, jauh lebih tinggi dibandingkan proses penambangan existing yang tidak banyak memerlukan biaya dan teknologi tinggi. “Sehingga semakin tingginya harga batu bara saat ini bisa menjadi penahan laju hilirisasi di Kaltim,” jelasnya. (rom/k16)