Aku niscaya, orang Dayak berbunda mantra dan ayah kita senantiasa bersemayam di semesta, selalu saja mengibarkan syair di rumah panjang yang lusuh tergores pisau peradaban.
Padahal pada tiang dua pelukan, masih terpahat mantra dari leleh keringat leluhur, yang kini lusuh tak terurus karena jejak pendatang telah memecahkan tempayan naga.
Kugenggam terus sapamu.
Tak peduli di rimba mana engkau bersemayam,
di mantra jua kita berjumpa.
"Setetes pun jangan sisakan," begitu ucap mantramu.
Tuak tetap terteguk dan setetes pun kusisakan.
Sebab mantra tak akan habis diteguk,
sekalipun tempayan retak didera rapuhnya waktu.