Ada secuil noda dari kotaku yang masih seperti dulu. Hal yang tak pernah dirindukan untuk bertemu kembali tiap pulang ke Kota Tepian. Debu dan jalan rusak. Soal banjir, itu juga, tapi kali ini saya hanya ingin menyoal debu. Mengapa, karena soal ini, kelihatannya, kalau dikerjakan, bukan masalah yang besar. Dan kalau benar-benar dikerjakan juga tak perlu banyak anggaran.
Yang diperlukan kepeloporan. Gerakkan instansi yang potensial menuntaskan masalah ini, dan gandeng organisasi kemasyarakatan (ormas). Kita juga mau lihat ormas-ormas di Samarinda rutin tiap Jumat membersihkan parit, menyapu jalan, atau memunguti sampah. Karena saya yakin salah satu tujuan ormas adalah memberi kontribusi positif di tengah masyarakat dan hadir menjadi solutif dalam beragam permasalahan publik.
Oke misalnya secara reguler untuk kebersihan kota, termasuk menghilangkan debu, sudah ada yang bertugas. Sudah ada dinas yang menangani. Sudah lengkap struktur, sumber daya manusia (SDM), hingga peralatannya.
Misalnya, sudah punya kendaraan pengisap debu. Kalau ini harus dievaluasi, apakah beroperasi reguler dan maksimal menuntaskan masalah perdebuan di kota ini? Dulu secara reguler, kendaraan itu mondar-mandir di Jalan Juanda, Antasari, dan Kesuma Bangsa.
Kini jarang terlihat. Dan itu pun, dulu, “mainnya” hanya di kota, tak pernah ke pinggiran. Loa Bakung dan Loa Buah misalnya. Dan tentu saya juga harus memberi apresiasi kepada penyapu jalan yang menjadi ujung tombak kebersihan kota. Tapi, jika kondisinya masih begitu banyak butiran debu, dan itu terjadi sudah sejak lama, tentu pemerintah daerah harus mengeluarkan solusi yang keluar kotak. Solusi yang tak biasa demi menghilangkan debu dari jalan-jalan di Samarinda.
Baru-baru ini, saya pulang ke Samarinda. Lewat jalan tol tembus ke Jembatan Mahakam Ulu (Mahulu). Saat baru keluar dari mulut jembatan, sisi Loa Buah, kita akan disapa mesra dengan jalan rusak berbatu dan berdebu. Yang selalu macet karena antrean kendaraan besar.
Itulah jalur yang selalu dilalui truk-truk dari dan ke luar kota. Jalan rusak yang menjadi salah satu pemicu munculnya debu. Pemicu lainnya, truk-truk yang bodi dan bannya kotor, tertempel lumpur yang tadinya basah kemudian mengering, lalu berjatuhan ke jalan.
Bayangkan berapa banyak truk dengan ban dan bodi berlumpur kering mengotori jalanan, hilir-mudik tiap hari. Pemicu lainnya lagi, jalan utama yang mendapat sentuhan perbaikan, tidak diikuti dengan pembuatan trotoar dan peremajaan drainase. Jadi jomplang.
Lihat saja di Loa Bakung, sepanjang Jalan KH Mas Mansyur, jalan yang disemen jadi lebih tinggi dengan permukiman warga di pinggirnya. Sementara tak ada trotoarnya. Kondisi itu terlihat sampai Sungai Kunjang.
Juga jalan-jalan dekat Gedung DPRD Kaltim di Karang Paci. Badan jalan lah yang seiring waktu, kedua sisinya akan tertutup debu. Sehingga seolah-olah menjadi trotoar. Selain itu, debu jalan secara bertahap jatuh ke parit dan memicu sedimentasi.
So, sudah bisa ditebak, nanti-nanti jadi banjir. Saya tumbuh di Loa Bakung sejak PT Hartati Jaya Plywood dulu jaya-jayanya. Tak pernah kami mendengar, melihat, dan merasa, ada banjir di Loa Bakung. Paling-paling dulu air sungai yang naik sampai halaman rumah itu pun hanya nyantap kata orang Samarinda atau numpang lewat. Dan kami menyebutnya air pasang. Setidaknya, fenomena alam itu terjadi setahun satu hingga dua kali. Kini, Loa Bakung juga dilanda banjir bahkan berlumpur.
Saya membayangkan pemerintah kota mengambil langkah tak biasa dalam menuntaskan masalah debu di kota ini. Ini gambaran saya. Misalnya, melibatkan petugas pemadam kebakaran dengan alat pemadamnya yang bisa menyemprotkan air dengan tekanan tinggi. Kemudian, dibuat agenda pada hari tertentu bikin gawe besar siram-siram debu per kecamatan. Khususnya kecamatan-kecamatan di pinggiran, yang berbatasan dengan daerah lain, yang banyak truk besar melintas.
Airnya melimpah ambil dari Sungai Mahakam. Semua dilibatkan. Camat, lurah, hingga ketua RT dan warga, yang wilayahnya akan disemprot. Dipetakan per kawasan. Setelah pemetaan tuntas, pihak yang dilibatkan sudah terdata, tinggal eksekusi. Libatkan juga pengusaha, khususnya yang berada di sekitar kawasan dan pemilik kendaraan besar yang kerap melintas. Pengusaha yang peduli tentu mau mengeluarkan anggaran mereka untuk kerja bersih-bersih itu, dan pemerintah tak harus keluar duit.
Kemudian buat aturan wali kota kendaraan kotor dilarang masuk kota. Lengkap dengan instrumen sanksi. Sejurus dengan itu, kalau perlu, di tiap jalan-jalan masuk siapkan kompresor dan petugas yang kerjanya khusus untuk membersihkan kendaraan yang kotor. Sehingga tidak membawa kotoran yang melekat masuk kota kemudian bertebaran di jalan.
Kalau wali kota atau wakil wali kota sedang fokus pada tugas lain, misal penanganan banjir dan penataan Sungai Karang Mumus, tunjuk jajarannya sebagai penanggung jawab menjalankan program ini, agar semua bisa jalan bersamaan.