“Lihat tu mukanya, hitam sebelah dan giginya panjang-panjang.”
“Aku denger dia kaya begitu karena mamaknya dulu enggak ngerelain dia diambil sama jin yang udah bantu mereka jadi kaya.”
“Iya ya, masuk akal juga. Ngerik banget. Mukanya udah kayak monyet.”
“Eh, iya ya. Bener juga, mirip monyet.”
Bihitn hanya bisa mendengar semua itu tanpa melawan. Di dalam hati, Bihitn tentu saja tidak terima dan marah. Terlebih jika orang-orang mulai menceritakan tentang orangtuanya. Tapi, semua orang sepakat dan setuju dengan perkataan-perkataan itu. Jika melawan, Bihitn yang akan kena batunya. Seperti yang pernah dialaminya di umur sepuluh tahun. Bihitn si anak-anak berusaha ikut bermain dengan teman-teman sebayanya di kampung.
“Hei Bihitn, kamu enggak boleh ikut main. Kata mamakku kamu itu anak jin. Nanti kita semua kena sial.”
“Aku juga pengin main kelereng dengan kalian. Aku baru aja beli satu bungkus,” sahut Bihitn sambil membawa seplastik besar kelereng.
Tiba-tiba seorang anak terpeleset oleh kelereng yang tersebar di tanah. Seketika anak itu menangis dan anak-anak lainnya melihat Bihitn yang masih berdiri kaku tanpa tahu sebab anak-anak lainnya menatap dia dengan tajam.
“Bihitn si anak jin. Ini semua karena kamu. Kan aku udah bilang kamu pulang aja karena pasti bawa sial.”
“Kok aku sih? Aku enggak ngapa-ngapain kok.”
“Woi si anak jin, pulang kamu! Enggak usah di sini lagi!”
“Iya woi, pulang!” Beramai-ramai anak kecil itu meneriaki Bihitn. Satu di antaranya bahkan mendorong Bihitn dengan keras hingga terjatuh. Plastik berisi kelereng milik Bihitn pun berserakan. Anak-anak itu terus memojokkan Bihitn. Dan Bihitn pun meninggalkan mereka.
Air mata Bihitn tumpah. Berceceran hingga ke rumah. Tangisnya pecah, tapi tidak ada yang bisa memeluknya di rumah. Kelereng yang dijatuhkannya di tanah, sekarang sudah jadi milik anak-anak yang mengusir Bihitn. Yang hina dan jin hanya Bihitn, barang-barangnya tentu tidak.
Sejak saat itu, Bihitn sudah tidak pernah berupaya untuk menjadi dekat dengan siapa-siapa. Bihitn si remaja tumbuh dengan mengurus hutan dan kebun milik orangtuanya. Hutan dan kebun yang subur. Hutan dan kebun yang bila dilempar biji mangga tanpa perlu ditanam bisa langsung berdiri dan sehat hingga berbuah. Ini adalah warisan bapak dan mamak Bihitn. Tempat tenteram yang Bihitn miliki. Setidaknya sampai segerombolan warga tiba-tiba membakar sebagian hutan milik Bihitn.
“Bapak-bapak, kenapa hutanku kalian bakar?”