“Eh, Bihitn. Hutanmu ini akan kami jadikan lahan pertanian untuk warga desa.”
“Tapi ini kan hutan milik bapakku. Bapakku yang punya hutan ini. Aku yang akan merawatnya sekarang.”
“Eh, Bihitn. Hutan ini milik bapakmu lewat perjanjian dengan jin. Kalau tanah ini masih terus-terusan kamu miliki. Hidup kami yang akan terus sial dan miskin. Setelah kami rapat desa kemarin, kami menyimpulkan bahwa kemiskinan yang kami alami di desa, itu semua karena kutukan dari bapak dan mamakmu yang bersekutu dengan jin. Kami harus miliki hutan ini sekarang dan kamu harus pergi dari tempat ini sekarang!”
“Enggak bisa gitu bapak-bapak. Ini hutan milik bapak saya.” Bihitn masih melawan sampai akhirnya semua warga kampung mengeluarkan parang dan api yang digunakan untuk membakar hutan milik Bihitn ke arahnya. Bihitn berlari kencang ke rumahnya dan ketakutan.
Warga mulai beringas dan meminta Bihitn segera pergi dari desa. Bihitn si remaja tidak tahu harus ke mana. Ini adalah rumahnya. Tapi hutan miliknya saja bisa sekejap hilang, apalagi rumahnya saat ini.
Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu rumah Bihitn. Ia takut keluar karena bisa saja warga itu mengejar dan mengamuk ke rumahnya. Tapi ketukan pintu makin kuat. Bihitn berusaha mendekat dan mengintip melalui celah pintu kayu yang sedikit berlubang.
Bihitn melihat seseorang yang asing untuknya. Orang itu kembali mengetuk pintu. Bihitn dengan takut membuka pintunya.
“Bihitn, kamukah itu?”
“Iya. Kamu siapa?”
“Ikut aku, kamu harus tinggalkan desa ini sekarang. Desa ini udah enggak aman. Aku kenal bapak dan mamakmu.”
“Tapi kita mau ke mana? Di sini rumahku.”
“Kita ke rumahmu yang lain.”
Bihitn terkejut, ucapan itu meyakinkannya untuk meninggalkan desa. Desa tempat Bihitn lahir dan tumbuh. Desa yang begitu kejam menghukum Bihitn. Desa yang sekarang hanya bisa dikenang Bihitn dalam ingatan karena sudah habis terbakar oleh kerakusan dan kebodohan warganya. (dwi/k8)