Seakan mengulangi lagi, memandang sekali lagi, pada mayat yang tergeletak berlumuran darah di depanku, dan sosok pembunuhnya persis di depannya memegang sebilah pisau, dan ia adalah aku.
Aku berjalan terseok dengan pandangan kosong. Pukulan, dan keputusasaan membayangi benakku, mengejar rasa bersalah bertubi-tubi, dan 10 tahun jeruji penjara memakan segala mimpi dan harapanku.
Aku memutuskan keluar dari rumah itu, menguncinya dari luar, dan sejenak duduk di kursi teras berwarna putih berjejer dua yang dipisahkan sebuah meja bundar yang pula berwarna putih, biasa aku gunakan untuk membersihkan lensa kamera sebelum aku pergi bekerja. Namun sore itu justru pemandangan sampah-sampah kanvas yang berserakan terlihat usang dan lampau. Tembok teras yang mengelupas basah dan berjamur terlihat sekali bahwa rumah ini telah lama ditinggalkan pemiliknya.
Aku ingin bergegas pergi dan tak ingin berlama-lama di sini. Rasanya, berdiri pun terasa susah payah, apalagi berjalan dan pergi, karena tujuan hatiku sebenarnya adalah aku kemari untuk hal terakhir.
Entah mengapa waktu menarikku pada sebuah perjalanan lain yang wajib kudatangi. Aku memutuskan pergi karena sebuah janji harus aku tepati. Telepon berdering. Dewinta, anak perempuanku telah menungguku di sebuah kafe di Jimbaran.
Sejauh kakiku bergerak pergi, sebanyak itu pula mataku terus menangkap bayangan Genta di rumah itu. Sosok yang teramat disayangi oleh Dewinta walau bukan ayah kandungnya.
Mungkin telah menjadi sebuah falsafah hidup, ketika seseorang telah tiada keberadaannya justru baru terasa. Kenangan itu kusimpan sendiri, untuk suatu saat kuceritakan pada Dewinta ke mana sosok ayah sambungnya sehingga ia harus hidup di Jakarta bersama ayah kandungnya, Dirga, hingga menyelesaikan kuliah bisnisnya. Dan ke mana kepergian ibunya selama ini? Mengapa baru sekarang menemuinya setelah bertahun-tahun tidak menjumpainya.
Saking bahagianya akan bertemu anak gadis yang dulu kutinggalkan rasanya baru beranjak ABG, kini dia telah dewasa dan menjadi seorang pebisnis real estate.
Sopir taksi online mengantarkan aku pada alamat yang dikirim Dewinta. Setiba di kafe itu rasanya ingin segera menerobos masuk, namun rasa hati yang berkecamuk takut, masih kuat menguasaiku.
Sebuah pelukan menjemput yang sebelumnya tak kubayangkan, namun sejenak leherku terasa tercekik, kelumpuhan seakan menyerang seluruh anggota tubuhku. Namun senyum merekah di depanku dan obrolan yang bertubi-tubi datang padaku seakan memberikan sebuah jawaban bahwa semua baik-baik saja.
Mungkin ayahnya telah memberikan penjelasan logis padanya seiring kedewasaannya. Dewinta hanya ingin bersua dan membayar semua waktu yang direnggut paksa untuk kami berdua.
Aku berkelamaan memandangnya. Ia berpura-pura seakan tak mengerti dengan apa yang telah terjadi. Obrolan kami seperti obrolan anak dan ibu yang lama tidak bertemu. Di dalam hatiku berkata, “Kau tahu Nak? Aku kemari untuk bunuh diri, mengubur segala kisah kelam hidupku, agar kau tak perlu tahu, semua demi menebus dosa-dosa ibu padamu".
Aku memandangi wajahnya tak sedetik pun beralih walau berderet makanan di meja untuk kami berdua. Terus-menerus memandangi wajahnya, menyelami matanya tanpa sadar mataku telah digenangi air mata.
“Kenapa ibu?"
Air mataku mengalir, ia memelukku erat, seakan takdir kedewasaan ditukar oleh malaikat. Ia menenangkan aku dan terus-menerus menenangkan aku sembari berkata, "ibu berbagilah denganku jika ingin berbagi, jika tidak sekarang, kita masih punya banyak waktu untuk bersama".