Fungsi dari satelit SS-1 adalah membuat jaringan komunikasi alternatif untuk daerah yang tidak terjangkau sinyal GSM, sehingga dengan adanya satelit tersebut tetap bisa mengirim data ke daerah-daerah tersebut. ’’Jadi fungsi satelit SS-1 ini seperti memasang kabel komunikasi, tetapi di luar angkasa,’’ jelasnya.
Pesan yang nantinya bisa dikirim melalui layanan satelit SS-1 adalah pesan teks. Pesan teks ini misalnya berupa informasi bencana dari daerah pedalaman. Kemudian juga untuk mengukur muka air dan deteksi asap. Intinya sensor apapun yang bisa mengirimkan datanya, bisa ditangkap satelit tersebut. Kemudian datanya dikirim kembali ke stasiun bumi yang sudah disiapkan Zulfa dan timnya. Rencananya stasiun bumi untuk menangkap sinyal dari SS-1 akan dibangun di Cikarang.
Zulfa yang saat memulai riset satelit SS-1 masih duduk di semester lima jurusan teknik fisika itu menjelaskan kenapa riset satelit membutuhkan waktu lama. Di antaranya dalam riset satelit ada istilahnya redudansi. Yaitu ketika satu sistem gagal (failed), bisa di-backup oleh sistem cadangannya.
Kondisi itu berbeda dengan riset pembuatan robot atau drone. Kalau pada riset robot dan drone, ketika ada sistem yang gagal dengan mudah diperbaiki. ’’Kalau untuk satelit bagaimana memperbaikinya, apalagi ketika satelitnya sudah diorbit luar angkasa,’’ tuturnya. Dia mengatakan, astronaut saja, tidak bisa begitu saja memperbaiki satelit. Apalagi satelit yang berukuran sedang sampai kecil. Untuk itu sebuah satelit perlu dibekali sistem berlapis.
Tantangan lain dalam riset satelit adalah keterbatasan sumber daya. Dia mengungkapkan, memulai riset satelit SS-1 tersebut dengan saldo tim Rp 0. Tetapi dia bersyukur mendapat dukungan dari berbagai pihak. Di antaranya dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dukungan dari BRIN dalam bentuk mentoring oleh ahli di bidang satelit. Kemudian fasilitas laboratorium dan ruangan khusus pembuatan satelit di Pusat Teknologi Satelit BRIN di Rancabungur, Kabupaten Bogor.
Selain itu, ada dukungan dari Pasifik Satelit Nusantara. Selaku perusahaan swasta asal Indonesia pertama yang bergerak di bidang telekomunikasi berbasis satelit dan menjadi salah satu operator satelit di Indonesia.
Dia menjelaskan pada masa tertentu, cukup aktif berhari-hari bolak-balik Jakarta, Tangerang, dan Bogor. Contohnya ketika kelupaan memotret salah satu titik atau sudut bagian satelit. Foto tersebut harus dikirim ke JAXA sebagai lembaga yang memfasilitasi peluncuran satelit. Zulfa mengatakan, satelit harus dibuat sangat presisi dan detail sesuai ketentuan dari JAXA.
Ketentuan yang sangat detail itu terkait keamanan satelit tersebut. Jangan sampai satelit itu rusak atau gagal mengorbit. Sebab, biaya yang dikeluarkan cukup besar. Apalagi jangan sampai satelit itu meledak dan membahayakan astronaut yang berada di ISS.
Struktur satelit SS-1 terbuat dari alumunium space grade seri 7. Kemudian di dalamnya ada beberapa komponen elektro. Kemudian ada PCB (printed circuit board) untuk modul komunikasi dan modul power. Kemudian ada komponen antena serta panel surya sebagai sumber energi.
Satelit ini berangkat dari kantor BRIN di Bogor lalu ke Jepang kemudian ke AS sampai di ISS dalam keadaan power off. Kemudian saat diluncurkan oleh astronaut ke orbit, aliran listrik mulai on. Kemudian dalam tempo 30 menit berada di orbit, antena akan mengembang dan satelit berfungsi.
Dia mengatakan, solar cell di setiap sisi satelit sudah cukup untuk menyuplai daya. Listrik yang diterima akan disimpan di baterai lithium ion. Selama mengorbit satelit SS-1 ini mengambil tenaga listrik dari pancaran sinar matahari. Dia meminta doa dari masyarakat Indonesia supaya misi orbit satelit SS-1 berjalan lancar. Serta menjadi tonggak sejarah dalam riset satelit di Indonesia. Khususnya riset satelit di kalangan mahasiswa atau pelajar, yang selama ini belum pernah ada yang sampai tahap mengorbit.
BRIN sangat mengapresiasi inovasi satelit SS-1 karya mahasiswa Surya University tersebut. Kepala Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (OR-PA) BRIN Robertus Heru Triharjanto mengatakan, satelit SS-1 itu menjadi pionir satelit nano di Indonesia.
’’Selesainya satelit ini menjadi bukti dari konsistensi para mahasiswa dan pihak-pihak pendukung, termasuk BRIN,’’ katanya. Dia berharap ke depan satelit nano dan mikro tidak hanya diproduksi BRIN. Tetapi juga muncul dari lembaga-lembagai lain, termasuk kalangan universitas. Adanya satelit SS-1 ini menjadi titik awal kepercayaan bahwa Indonesia mampu membangun sebuah satelit.
Heru mengatakan, BRIN hadir sebagai lembaga fasilitator dan pendukung perkembangan riset di Tanah Air. Saat ini terbuka kesempatan luas bagi siapa pun untuk berkolaborasi dengan BRIN. Termasuk memanfaatkan fasilitas riset pembuatan satelit milik BRIN, yang sebelumnya dikelola Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Fasilitas Pusat Teknologi Satelit BRIN sudah beroperasi sekitar 15 tahun. Sudah banyak satelit produksi BRIN atau Lapan yang diproses di Pusat Teknologi Satelit tersebut. Fasilitas yang ada di dalamnya bisa dimanfaatkan oleh riset satelit yang dikerjakan oleh perguruan tinggi, startup, maupun perusahaan swasta lainnya. (jpg/dwi/k16)