JAKARTA – Tim gabungan penyelidikan kasus penembakan Brigadir Yosua Hutabarat seolah memulai penyelidikan dari nol. Sebab, hasil penyelidikan yang dilakukan Polrestro Jakarta Selatan (Jaksel) dianggap sumir. Sejumlah alat bukti juga diragukan keautentikannya.
“Semua (tim gabungan) bisa memakluminya. Karena kemungkinan Satreskrim Polrestro Jaksel bekerja dalam tekanan yang cukup besar,” kata seorang petugas yang tidak mau disebutkan namanya.
Maklum, Kapolrestro yang pangkatnya Kombespol harus memeriksa perkara yang melibatkan jenderal bintang dua. Apalagi, yang punya perkara adalah Kadivpropam (nonaktif) Irjen Pol Ferdy Sambo.
Sumber Jawa Pos itu mengungkapkan, yang pertama diperiksa adalah luka tembak di tubuh Yosua. Semua luka tembak tersebut mempunyai sudut yang tidak sesuai dengan situasi baku tembak. Sebelumnya Kapolrestro Jaksel Kombespol Budhi Herdi Susianto memang menyatakan bahwa terjadi baku tembak antara Brigadir Yosua dan Bharada E.
Saat itu Bharada E yang disebut berada di tangga lantai 2 berhasil memberondong tubuh Yosua. ”Padahal, luka tembak semua sudutnya lurus. Artinya, tidak mungkin ditembak dari tempat yang lebih tinggi. Yang berarti, cerita baku tembak menjadi tidak masuk akal,” paparnya.
Selain itu, ada dua luka akibat tembakan dari arah belakang. Pertama, dari kepala bagian belakang tembus hidung. Lalu dari pergelangan tangan kiri tembus ke jari. ”Bagaimana bisa seperti itu jika terjadi baku tembak?” cetusnya.
Yang paling mungkin adalah Yosua sudah bersujud minta ampun, tapi tetap ditembak. ”Tapi, yang ini baru spekulasi sementara ya. Belum kesimpulan. Perlu alat bukti lainnya. Yang jelas, narasi baku tembak sudah terpatahkan,” ungkap sumber tersebut. Hanya, bagaimana kronologi sebenarnya, itu yang masih dicari.
Ada dugaan terjadi cekcok berat saat Yosua mengawal perjalanan Ferdy Sambo dari Magelang menuju Jakarta. Kemudian, eksekusi dilakukan di rumah Kadivpropam. Dari olah TKP, diketahui genangan darah hanya tampak di titik Yosua tertelungkup. Artinya, jika narasi baku tembak benar terjadi, seharusnya ada darah yang terciprat.
Pada titik inilah, tim gabungan mendapatkan tantangan cukup berat. Sebab, TKP dan semua alat bukti diragukan keautentikannya. Alat bukti itu termasuk handphone (HP) milik Yosua dan rekaman CCTV di rumah Kadivpropam. Sebelumnya Kadivhumas Mabes Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan bahwa HP milik Yosua dan rekaman CCTV itu berada di puslabfor.
”Pernyataan itu benar, tapi semua yang ada di tim gabungan meragukan apakah itu ponsel dan dekoder CCTV yang asli,” ucap sumber yang ikut menangani kasus tersebut.
Sebelumnya alat bukti kunci untuk mengungkap kasus itu (HP dan CCTV) disita dan diamankan Biro Paminal Divpropam Mabes Polri. Selama tiga hari sebelum diumumkan ke publik dan hingga Jumat (15/7), dua alat bukti tersebut tak kunjung diberikan kepada tim khusus. ”Ini yang berat. Karena bisa diutak-atik tanpa ada yang mengganggu,” lanjutnya.
Sumber tersebut menyatakan bahwa Divpropam Mabes Polri merupakan sebuah satuan kerja yang sulit diakses dan dimonitor. ”Ketika penyidik memeriksa saksi, paminal mengirimkan anggotanya. Alasan formalnya sih pro-justitia. Tapi, penyidik malah merasa seperti diawasi dan menjadi tak bebas,” bebernya.
Karena itu, tak heran jika keluarga Brigadir Yosua meminta Kapolri mencopot Karopaminal Brigjen Hendra Kurniawan. ”Dia termasuk yang membuat TKP bermasalah, berikut barang buktinya. Agar tidak keruh, sebaiknya juga dicopot,” cetus Johnson Panjaitan, kuasa hukum Brigadir Yosua, kepada sejumlah wartawan pada Selasa (19/7) lalu.
Pada bagian lain, Mabes Polri Selasa lalu memutuskan untuk menahan Bharada E. Namun, tim gabungan belum bisa mendapatkan banyak keterangan. Setiap ditanya, Bharada E selalu menjawab dengan ”saya”. Seolah-olah dialah yang mengambil tanggung jawab dari semua yang terjadi. Bharada E inilah yang tercatat sebagai pelapor kasus pelecehan seksual yang dialami Putri Candrawati, istri Ferdy Sambo. Laporan itu diajukan ke Polrestro Jaksel.