Modal ke PBT itu ditujukan untuk pembangunan RMU. Namun, dari hasil pemeriksaan, uang itu digunakan untuk pembiayaan gaji pegawai hingga kegiatan lain yang tak tertuang di RKAP. “PBT ini bukan badan usaha baru. Mereka sudah lama berdiri sehingga operasional dan gaji harusnya sudah menggunakan anggaran perusahaan yang sudah settle. Memang ada keterangan kalau ada kendala keuangan, sehingga modal itu yang digunakan. Tapi ini tak dibenarkan,” urainya.
Beda cerita dengan PBTE. Badan usaha ini merupakan perusahaan yang baru dibentuk pada 2019. Modal yang dikucurkan pada 2021 sebesar Rp 3,6 miliar merupakan modal pertama yang digelontorkan. Karena mereka belum punya pemasukan yang pasti sehingga penggunaan modal itu untuk pembiayaan gaji masih diperkenankan. “Tapi soal adanya insentif untuk bupati jelas tak benar. Makanya kami anggap sebagai kerugian negara yang timbul,” tuturnya. Dia merinci, dari gelondongan modal di PBTE, Rp 1,01 miliar merupakan tanggung jawab Baharun Genda karena ada sebagian digunakan untuk kepentingan pribadi dan senilai Rp 847 juta ditanggung AGM.
Sementara di PBT, Dirut PBT Heriyanto bertanggung jawab atas penggunaan uang Rp 4,5 miliar, Kabag Keuangan PBT Karim Abidin senilai Rp 933 juta, dan AGM sebesar Rp 4,8 miliar. “Jadi total kerugian yang muncul sekitar Rp 14,4 miliar. Rp 1,9 berasal dari PBTE dan sisanya di PBT,” singkatnya. Selepas kedua ahli memberikan keterangan, majelis hakim yang dipimpin Ary Wahyu Irawan memberikan waktu sepekan ke para terdakwa untuk menghadirkan saksi atau ahli meringankan dalam perkara ini. (ryu/riz/k16)