Mencari durian saat ini adalah waktunya. Hampir di setiap sudut jalan mudah ditemukan. Bahkan di berbagai daerah di Kaltim. Jenisnya pun beragam. Dengan harga yang relatif terjangkau.
MENGENDARAI sepeda motor matik, Hepi Eko Rahmanto mengaspal dari rumahnya di Jalan Soekarno-Hatta Kilometer 24, Karang Joang, Balikpapan Utara. Tujuannya ke kebun durian. Lokasinya di Kilometer 23.
Memasuki jalan di Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup (KWPLH) Beruang Madu, Balikpapan. Dari jalan raya, perlu waktu 30 menit berkendara. Medan yang dilewati belum “bersahabat”. Hanya sebagian kecil yang sudah disemen. Sisanya masih jalan tanah yang dilapisi batu kerikil. Bahkan, beberapa titik tergenang dan licin.
“Itu jalan dibuat pemerintah. Namun, sudah lima tahun tidak ada sentuhan lagi. Batu kerikil itu swadaya petani sini supaya memudahkan kami keluar masuk kebun,” ungkap Eko yang membawa awak Kaltim Post masuk ke kawasan kebun durian, Jumat (19/1) pagi.
Eko merupakan kepala pengelola kebun durian. Tergabung dalam Kelompok Tani Dusma Sejahtera. Di bawah manajemen Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) Bosifa.
Pemiliknya Triolla Siregar. Ada beberapa komoditas pertanian, mulai karet hingga buah-buahan. Namun khusus untuk durian, sejak lima tahun lalu, telah ditanam 1.100 pohon di atas lahan seluas 17 hektare. Menggunakan sistem okulasi, pada Desember 2023 lalu, akhirnya pohon menghasilkan buah masak untuk pertama kalinya.
“Itu merupakan panen perdana durian kami. Jenisnya beragam. Dari musang king, bawor, ochee (duri hitam), pelangi, dan banyak lagi jenisnya kecuali durian lokal. Semua jenis ini merupakan introduksi. Artinya, bibit yang kami dulu dapatkan merupakan bibit impor yang kemudian kami kembangkan. Dan yang panen kali ini jenisnya musang king, ochee, dan bawor,” jelas Eko.
Untuk panen perdana itu, Eko menyebut termasuk berhasil. Pasalnya satu pohon durian menghasilkan lebih dari 20 buah durian. Dengan kualitas premium dan minim kerusakan akibat hama. Itu berkat pemeliharaan yang maksimal. Mulai pemupukan sampai penyemprotan obat anti-hama. Selain itu ada faktor alam yang paling menguntungkan.
“Kita tahu Kalimantan ini untuk musimnya tidak menentu. Namun, kali ini karena musim kemaraunya cukup panjang, di mana hujan jarang terjadi, maka pohon menghasilkan bunga yang maksimal. Artinya, kemarau kemarin menjadi berkah bagi petani durian. Meskipun kami sadar, ada komoditas lain yang terdampak karena kemarau ini,” ungkapnya.
Tidak hanya panen yang melimpah, penjualan durian juga membawa berkah. Sehari, dibantu pekerja kebun, Eko mampu mengeluarkan 20 durian. Permintaan yang terus mengalir membuat jenis durian premium, seperti musang king dan ochee pun telah ludes dibeli pedagang dan konsumen langsung.
Ketika Kaltim Post berkunjung, hanya tersisa durian jenis bawor yang masih bergelantungan di pohon. Siap untuk dipanen seminggu atau dua minggu ke depan. “Kalau musang king harga petani itu Rp 250 ribu perkilogramnya. Kalau ini (bawor) Rp 100 ribu per kilogramnya. Beratnya untuk satu gelondongan (buah) antara 4-9 kilogram,” sebutnya sambil menunjukkan durian yang siap dipanen itu.
Kelebihan durian di kebun itu dibanding durian impor karena buah yang dipanen adalah yang telah jatuh. Artinya, memiliki tingkat kematangan yang maksimal. Berbeda dengan durian impor yang dipanen dengan dipetik dan mengalami proses pematangan di jalan. “Jadi rasanya tentu beda. Durian kami lebih nikmat,” klaimnya lantas menawarkan durian bawor kepada awak media untuk dicicipi.
Ditanya mengapa tidak menanam durian lokal? Eko menyebut dari pengalamannya tidak mudah. Selain harga ekonominya yang rendah, juga penjualannya yang susah. Apalagi, durian lokal sudah dikuasai petani di daerah lain, seperti Kutai Barat dan daerah di Sulawesi.