Sementara itu, salah seorang warga Pumpung, Cempaka, Ijar, mengaku tak menolak jika kawasan Pumpung ditetapkan menjadi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Asalkan, tidak mengganggu tradisi masyarakat di sana.
"Warga menambang di sini sudah puluhan tahun dengan sistem seperti sekarang. Sulit jika harus mengubahnya," katanya kepada Radar Banjarmasin.
Meski begitu, dia mengakui jika cara pendulangan yang mereka lakukan sangat berbahaya.
"Iya risiko tertimbun sangat besar. Sejak 1995, ketika sistem pendulangan mulai beralih menggunakan pompa sudah 200 lebih pendulang yang meninggal akibat tertimbun," ucapnya.
Insiden yang terbaru Senin (21/1) tadi, di mana satu orang pendulang tewas karena tertimbun longsoran tanah.
"Walaupun begitu, masyarakat masih memilih mendulang dengan cara seperti ini. Lantaran sudah jadi kebiasaan," ungkap Ijar.
Ijar pernah tertimbun longsoran pada 2001 silam. Beruntung saat itu dia berhasil menyelamatkan diri.
"Badan saya sudah tenggelam sampai dada. Tapi, masih bisa keluar. Namun, saya harus beristirahat selama satu setengah bulan karena cedera pinggang," kisahnya.
Saat ini, dia berhenti menjadi pendulang dan memilih untuk berjualan batu akik. Sebab, tak ingin mengalami peristiwa serupa.
"Masyarakat yang mendulang memang terus berkurang, lantaran terlalu berisiko dan mulai sulit untuk mendapatkan intan," ujarnya.
Dengan adanya rencana pemerintah untuk membina para pendulang, dia berharap gairah masyarakat untuk menambang intan kembali lagi.
"Mudah-mudahan saja pemerintah tidak menyulitkan para pendulang," pungkasnya. (ris/ay/ran)