• Senin, 22 Desember 2025

Kongkalikong Pegawai Atur Pemenang Proyek di BBPJN Kaltim, dari Jam Tangan Mewah hingga “Upeti” Motor

Photo Author
- Sabtu, 9 Maret 2024 | 07:30 WIB
Sidang OTT KPK yang menyeret pihak swasta dan pejabat BBPJN Kaltim digelar secara daring di PN Tipikor Samarinda. (RAMA SIHOTANG-KALTIM POST)
Sidang OTT KPK yang menyeret pihak swasta dan pejabat BBPJN Kaltim digelar secara daring di PN Tipikor Samarinda. (RAMA SIHOTANG-KALTIM POST)

 

Permintaan biaya komitmen atau commitment fee, dari rekanan yang mendapat proyek di Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satker PJN) I Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) Kaltim berasal dari permintaan kepala satker, Rachmat Fadjar. Hal itu disampaikannya dalam rapat internal dan tugas memungut diberikan ke 10 pejabat pembuat komitmen (PPK) yang ada di Satker I medio Maret 2023. Fulus yang dipungut nantinya digunakan untuk operasional kantor hingga menjamu tamu yang datang.

Hal ini terungkap selepas tiga PPK di Satker PJN I bersaksi di Pengadilan Tipikor Samarinda. Ketiga PPK itu, Rudi Hartono, Ginanjar Habib Supriadi, dan Triberias. “Saya enggak hadir tapi tahu ada permintaan seperti itu dari rekan yang lainnya,” ungkap Rudi Hartono ketika memberikan keterangan kemarin (7/3). Hal senada juga diterangkan dua saksi lainnya. Keduanya mengaku tengah meninjau proyek yang jadi tanggung jawab mereka untuk diawasi progres pekerjaannya. Memang, ucap ketiganya, tak ada penyampaian langsung terkait fulus yang dipatok berkisar 10 persen dari nilai kontrak itu. “Bentuknya sumbangan dan dirinci per PPK nilainya,” lanjut Rudi menerangkan.

Uang ikat janji itu dipakai untuk tujuan operasional kantor, serta operasional para PPK ketika mengawasi kemajuan proyek yang sudah berjalan. Pungutan pun dimulai medio Mei 2023. Selepas kontrak diteken dan mutual check (MC) awal berjalan yang dibarengi dengan cairnya uang muka kegiatan. Ketiganya tak mengelak, mereka juga mendapat sejumlah fulus operasional dari rekanan. Termasuk tiga terdakwa yang dibekuk KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) dalam perkara ini, yakni Abdul Ramis (direktur utama PT Fajar Pasir Lestari/FPL), Hendra Sugiarto (staf administrasi PT FPL), dan Nono Mulyatno (direktur CV Bajasari).

“Ada diberi sama Pak Nono, Pak,” aku Ginanjar ketika ditanya JPU KPK. Dia mengeklaim tak pernah meminta uang tersebut. Yang disampaikannya ke para rekanan yang mendapat proyek di Satker I PJN, seperti terdakwa Nono atau Abdul Ramis, hanyalah pesan dari kasatker, Rachmad Fadjar. Biaya komitmen 10 persen dari nilai kontrak per kegiatan. Beberapa titipan, lanjut Ginanjar, dititipkannya ke dua staf kasatker, Setiawan dan Fanny Firmansyah. “Kalau salah satu orang ini telepon berarti ada kebutuhan,” ucapnya.

 

Namun, JPU KPK sangsi akan keterangan Ginanjar dan Triberias tersebut. Lantaran keduanya mendapat sejumlah barang seperti satu motor dan sebuah jam tangan mewah. Jaksa menilai, tak mungkin ada orang yang memberi tanpa ada maksud dan tujuan. Namun, keduanya mengeklaim tak pernah meminta. “Oke, saksi memang tak minta. Tapi kok mereka kasih begitu. Buat apa? Masa iya jam tangan harga berkisar Rp 30 juta dan motor dikasih cuma-cuma,” tanya jaksa.

Beskal komisi antirasuah pun lanjut menyoal keterangan para PPK ini. Jika hal itu tak diatur mengapa para saksi meminta dan menerima uang operasional dari para rekanan. Ketiganya mengaku menerima lantaran ongkos operasional memantau proyek jalan di Kaltim memakan ongkos yang tak sedikit. “Pemberian seikhlasnya saja, Pak,” jawab Ginanjar. Namun, JPU tak puas dengan jawaban tersebut. “Ikhlas kok ada patokannya,” Ginanjar mengaku, ongkos itu murni digunakan untuk operasional para PPK dalam mengawasi progres pekerjaan yang berjalan agar sesuai target yang ada.

“SPPD (surat perintah perjalanan dinas) kami kecil. Jadi minta bantuan operasional biar bisa diawasi. Kalau sesuai progres cepat pula prosesnya (penagihan dan pencairan),” lanjutnya. Selain ketiga orang ini, ada dua saksi lain yang dihadirkan JPU KPK ke depan majelis hakim Pengadilan Tipikor Samarinda yang dipimpin Nyoto Hindaryanto bersama Nur Salamah dan Suprapto tersebut. Dua saksi ini merupakan orang yang sempat ditahan KPK ketika OTT terjadi pada 23 November 2023 lalu, yakni Audy Rahcmadian dan Angga Pratama Putra.

Keduanya merupakan pegawai honorer di Satker I PJN Kaltim. Kala itu, keduanya bersama Riado Sinaga, PPK dari Satker PJN I Kaltim dan kerabat Riado tengah menunggu kapal penyeberangan di Pelabuhan PPU untuk balik ke Samarinda selepas memantau proyek di Paser. Kapal belum bersandar, mobil keempat orang ini disambangi penyidik KPK dan langsung terjadi penggeledahan. “Saya enggak ingat. Saat itu pingsan, bangun-bangun udah di Mako Brimob Balikpapan,” ungkap saksi Angga. Saat diperiksa, dia ditunjukkan segepok uang Rp 100 juta pecahan Rp 50 ribu dan Rp 30 juta dengan pecahan Rp 100 ribu.

“Tapi saya enggak tahu uang itu dari mana. Memang, pagi sebelum balik, Pak Riado sempat pergi sama kerabatnya itu dan menyuruh kami berdua menunggu di penginapan,” akunya. Mundur ke April-Mei 2023, saat proses lelang proyek jalan lewat e-catalog disusun. Keduanya sempat mendapat mandat untuk mendistribusikan dokumen harga perkiraan sementara (HPS) ke para terdakwa dalam perkara ini atas permintaan Riado Sinaga. “Katanya biar saat pengajuan harganya yang ditawarkan rekanan mendekati nilai HPS,” aku Audy ketika bersaksi.

Lelang via e-catalog, lanjut dia, harusnya dilakukan secara daring. Namun, untuk proyek yang didapat PT FPL, berjalan secara langsung di Sekretariat Satker PJN I di Samarinda. “Saya yang jadi operator di akun PPK. Riado dan Hendra di sebelah saya. Proses penawaran dibuat seolah panjang terjadi. Ada empat kali,” ungkapnya. Selepas para saksi memberikan keterangan, majelis kembali menjadwalkan persidangan bakal digelar pada 14 Maret dengan agenda pemeriksaan saksi lanjutan dari JPU KPK. (ryu/riz/k16)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Sumber: Kaltim Post

Rekomendasi

Terkini

X