Angka pernikahan dini di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, masih tergolong tinggi meskipun mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir. Fenomena ini bukan hanya menjadi persoalan sosial, tetapi juga berdampak serius terhadap kesehatan generasi muda, termasuk meningkatkan risiko stunting dan kekerasan seksual terhadap anak.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBPPPA) Kabupaten Paser, Amir Faisol, mengungkapkan bahwa praktik pernikahan di bawah umur masih marak terjadi.
Baca Juga: Bulog Tanah Grogot Baru Serap 700 Ton Gabah Kering Petani di Paser, Target Mencapai 2.500 Ton
“Anak perempuan yang masih di bawah umur belum siap secara fisik dan mental untuk menikah. Tapi ironisnya, praktik ini terus berulang,” ujar Amir Faisol dalam acara Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) yang digelar di Ruang Rapat Sadurengas, Kantor Bupati Paser.
Menurut data DPPKBPPPA, tahun 2022 mencatat 171 kasus dispensasi pernikahan di Paser — tertinggi di Kalimantan Timur, melebihi kota besar seperti Balikpapan dan Samarinda. Angka ini menurun menjadi 131 kasus pada 2023, dan kembali menurun menjadi 109 kasus pada 2024. Meski demikian, Faisol menegaskan angka tersebut masih sangat mengkhawatirkan.
“Dispensasi nikah diberikan jika calon pengantin masih berusia di bawah 19 tahun. Ini proses hukum, tapi tetap mencerminkan masalah serius,” jelasnya. Lebih lanjut, Faisol mengungkapkan kekhawatirannya terhadap maraknya praktik pernikahan siri yang tidak tercatat secara resmi. Ia juga menyoroti bahwa sekitar 15% dispensasi nikah disebabkan oleh kehamilan di luar nikah (MBA), yang diduga kuat menjadi pemicu tingginya angka stunting di daerah tersebut.
“Kami mencurigai MBA sebagai salah satu faktor utama melonjaknya dispensasi nikah, dan bisa jadi pemicu awal stunting di Paser,” tegasnya.
Amir Faisol juga menyinggung aspek hukum dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Ia menyatakan bahwa pernikahan usia anak, apalagi yang mengandung unsur paksaan, dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual. “Pernikahan dini bukan hanya pelanggaran hak anak. Dalam konteks hukum, ini bisa masuk dalam ranah kekerasan seksual,” imbuhnya.
Kegiatan KIE tersebut dihadiri oleh perwakilan pemerintah, guru, tokoh masyarakat, pelajar, dan organisasi perlindungan perempuan dan anak. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesadaran, mencegah praktik perkawinan usia anak, serta memastikan program perlindungan anak dan perempuan pada tahun 2025 bisa berjalan secara efektif dan tepat sasaran.(ran/vie)