Sejak itu, sampai beberapa tahun berikutnya, kami tak bersua.
***
Menjelang 1990 saya bertugas di Balikpapan. Masih di Harian ManuntunG yang bersiap ganti nama, menjadi Kaltim Post. Suatu siang saya sedang di di rumah, ketika seseorang mengetuk pintu. Dan sosok di baliknya bukan main bikin kaget. Dia berseragam taruna Akmil. Setelan warna khaki, dengan tanda-tanda ‘pangkat’ keemasan di atas dasar merah. Brevet-brevet di dada, pet khas menutup kepalanya yang kini plontos nyaris botak.
“Dendi! Dendi Suryadi!”
Kami berangkulan. Tubuhnya kini jauh lebih tegap dan padat, bertenaga, dengan warna kulit lebih gelap. Jabat tangannya kuat. Kata-katanya terukur. Seperti keluar hanya jika perlu. Tegas. Dan selalu, bila setuju atau mengerti, yang keluar dari mulutnya adalah ‘siap’.
Berikutnya, begitulah suka-dukanya masuk Kawah Candradimuka para calon perwira di Magelang itu mengisi perjumpaan kami. Hampir semua bagiannya mempercepat degup jantung, saking menantang dan menguji nyali. Sayangnya belum semua terungkap. Dia harus membagi waktu cuti yang hanya sebentar. Musti terus ke Samarinda, menemui sang ibu, keluarga, sanak-kerabat dan kawan-kawan.
Kami kembali tak bersua dalam kurun yang lama.
Perkembangan karir militernya setelah lulus Akmil lebih banyak saya ketahui dari kakak-kakak dan adik-adiknya. Media sosial belum ada. Komputer masih dikursuskan orang. Hanya kantor-kantor dan orang berduit yang punya.
Pengalaman karirnya lengkap. Bertugas di banyak tempat di Nusantara, yang bisa diingat, dia pernah memimpin satuan-satuan peleton, kompi, batalyon. Lalu menjadi kepala staf dan komandan Kodim di Tenggarong. Sesudah bertugas di sebuah brigade Kostrad, Dendi menjadi kepala staf Korem di Lampung, lalu menjadi Komandan Korem 091/ASN di Kalimantan Timur dengan bintang satu di kedua pundaknya - brigadir jenderal!
Anak pembuat dan penjual kue, yang pernah jadi kuli bangunan dan loper koran itu kini tercatat sebagai putra Kutai pertama yang jadi jenderal! Dan jenderal yang pernah berlatih teater!
Kami hanya sesekali bersua. Antara lain saat dia menjadi Wadan Batalyon di Tarakan, Kepala Staf dan Komandan Kodim di Tenggarong, serta Komandan Korem di Samarinda. Sesekali pula saling menyapa lewat telepon dan pesan singkat. Dua peristiwa bersejarah dikabarkannya melalui telepon. Itulah ketika Indonesia kalah dalam referendum di Timor Timur. Juga saat dia dan sekompi pasukannya berhadap-hadapan dengan satuan Interfet (Australia).
“Kami sebenarnya sedang mempersiapkan ‘pull out’ dari Timor Timur. Pihak sana salah paham. Tapi namanya operasi militer, ya sempat kokang senjata juga,” kisahnya di belakang hari.
***
Setelah tak lagi mengomando Korem 091/ASN, Dendi menjadi staf khusus Kasad. Kantornya di Mabesad TNI di Jakarta. Persuaan kami kembali langka. Yang saya tahu kemudian namanya sempat masuk polling untuk posisi kandidat wakil gubernur Kaltim. Selebihnya adalah obrolan dengan beberapa kawan wartawan, tentang harapan bintang di pundaknya bertambah jadi dua. Mayor Jenderal. Hanya itu. Selebihnya ‘blank’.