Catatan Syafril Teha Noer*
“DUNIA militer adalah satu dari sedikit yang paling sukses membentuk kepemimpinan,” katanya. Tahun 80-an. Dia masih SMP. Antara kelas satu atau dua. Cenderung serius. Seperti selalu berpikir. Entah dalam hal apa terbahak. Atau berapa kali sehari bergurau atau bertindak usil. Terbilang kurang lazim untuk remaja seusia.
Di antara sedikit kegiatan rekreatif yang membuatnya rada santai, agaknya, adalah latihan-latihan bersama Kelompok Rumpun Pisang (KRP), semisal untuk penampilan di TVRI Stasiun (waktu itu) Balikpapan. Ini perkumpulan teater yang didirikan Almarhum Ahmad Rizani Asnawi - pegawai negeri yang mengetuai Dewan Kesenian Samarinda. Saya membersamai anak-anak dari usia TK sampai SMA ini tak kurang dari 10 tahun sejak 1980.
Baca Juga: Diskusi Bersama Rakyat Kukar, Brigjen TNI Dendi Suryadi Serap Aspirasi Kebudayaan Hingga Ekonomi
Hari itu dia meminta waktu untuk diskusi. Ini kerap terjadi di sela latihan rutin dan persiapan produksi. Kali ini tentang dunia militer, di mana kepemimpinan dilatihkan secara sangat serius.
“Lihat saja orang-orang besar dalam sejarah dan para tokoh sekarang,” sambungnya seraya menyorong contoh Panglima Besar Sudirman, Abdul Haris Nasution, Soeharto, Ali Sadikin, dan beberapa nama lain yang berperan penting dalam perjalanan bangsa. “Apa kamu mau jadi tentara?” Saya bertanya. “Saya mau jadi pemimpin, kak,” jawabnya.
Saya mengira dia hanya sedang terkesima. Masa itu beredar banyak nama dengan karir moncer. Ya saat memanggul senjata di ketentaraan, ya waktu berkiprah di dunia sipil. Situasi politik sedang membuka ruang jembar bagi debut para perwira, tidak hanya dalam perkara pertahanan dan perang. Karena itu lalu populer.
Tapi ternyata saya keliru. Tamat SMA Negeri 1 Samarinda dia mendaftar dan ikut tes masuk Akademi Militer (Akmil) melalui Kodam Mulawarman di Balikpapan. Semua tahapan dia lewati dalam senyap. Tapi pada uji ketahanan fisik lari keliling Lapangan Merdeka dia ambruk, di seperempat akhir jarak yang harus diselesaikan. Gagal.
Baca Juga: Pengamat : Dendi Suryadi Putra Daerah Kukar yang Diinginkan untuk Menjadi Bupati
Tes itu berlangsung dalam bulan Ramadan. Seseorang memberinya saran untuk tidak berpuasa dulu. Toh bisa diganti di lain bulan. Namun kelima dari tujuh anak pasangan Almarhum Djamhur dan Emly ini ‘keukeuh’ berpuasa.
Kembali dari Balikpapan dia berjualan koran, jadi loper, terutama untuk Harian ManuntunG (sekarang Kaltim Post), sambil kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. Lapaknya di pinggir Jalan Bhayangkara Samarinda - di samping rumah orangtuanya. Kebetulan, sejak 1989 saya bekerja di harian pertama di Kaltim itu.
Kuliah sambil jual koran? Ya. Sebelum itu dia bahkan ‘nguli’ bangunan. Ayahnya telah lama berpulang. Ibunya bertahan dengan membuat dan menjual kue. Syukurlah, semua anaknya tahu diuntung. Tak ada yang aneh-aneh. Bahu-membahu ikut membantu.
Baca Juga: Survei TBRC : Dendi Suryadi Mampu membawa Masyarakat Kukar Sejahtera