TANJUNG REDEB – Angka kasus asusila yang melibatkan anak di bawah usia 18 tahun di Kabupaten Berau menunjukkan tingkat yang mengkhawatirkan sepanjang tahun 2025, memicu alarm serius terkait upaya perlindungan anak di daerah tersebut.
Data terbaru dari Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKBP3A) Kabupaten Berau mencatat total 67 kasus anak telah dilaporkan. Ironisnya, mayoritas dari kasus tersebut didominasi oleh tindak pelecehan seksual, dengan jumlah mencapai 56 kasus.
Kepala UPT PPA DPPKBP3A Berau, Yusran, menyatakan tingginya angka ini menjadi indikator penting bahwa upaya perlindungan harus diperkuat secara masif, baik melalui edukasi di tingkat keluarga maupun penegakan hukum yang tegas.
“Di tahun ini kasus anak terdapat 67 kasus dan untuk pelecehan seksual terhadap anak terdapat 56 kasus. Jadi yang tercatat sebagai kasus anak adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun,” ujar Yusran.
Yusran memastikan semua kasus yang masuk saat ini sedang dalam proses penanganan intensif. UPT PPA memberikan pendampingan psikologis yang komprehensif, tidak hanya berfokus pada korban, tetapi juga melibatkan keluarga inti untuk memastikan proses pemulihan berjalan optimal.
“Semua kasus sedang kita proses dan terus kita pantau melalui orang tuanya. Kami mendampingi hingga terminasi, yaitu saat korban merasa sudah tidak membutuhkan pendampingan lagi dan psikolog menilai kondisi sudah stabil,” jelasnya.
Meskipun fase pendampingan utama selesai, UPT PPA tetap mengimbau korban dan keluarga untuk tidak ragu melapor kembali jika muncul perubahan perilaku, gejala aneh, atau trauma lanjutan.
Salah satu kekhawatiran terbesar UPT PPA adalah dampak jangka panjang dari kekerasan seksual yang dialami anak sejak usia dini. Yusran menekankan bahwa trauma yang tidak tertangani berpotensi memutus rantai korban-pelaku.
“Yang kita takutkan, jika dari kecil anak-anak sudah menjadi korban, maka potensi besar ketika dewasa mereka bisa menjadi pelaku. Ini yang harus dicegah,” tegasnya.
Untuk memaksimalkan penanganan, UPT PPA telah menjalin kerja sama informal dengan berbagai instansi terkait, termasuk Dinas Sosial, guna memastikan pendampingan tidak terhenti dan mencakup berbagai aspek, termasuk dukungan bagi pelaku yang membutuhkan pendampingan atau korban yang tidak memiliki dukungan keluarga.
UPT PPA juga berpesan kepada masyarakat untuk tidak menormalisasi kekerasan dan pelecehan. Yusran menggarisbawahi pentingnya masyarakat memahami bahwa sentuhan fisik tanpa persetujuan, terutama terhadap anak, sudah termasuk tindak pelecehan atau kekerasan seksual. Pihaknya berharap kesadaran masyarakat untuk berani melapor semakin tinggi demi perlindungan hukum dan pemulihan psikologis yang tuntas bagi para korban. (as/upi)