Perusahaan tersebut datang langsung meninjau kebun, bertemu petani, hingga memastikan praktik budidaya dilakukan tanpa merusak hutan.
“Yang paling penting bagi mereka, jangan sampai kakao kami terindikasi deforestasi. Mereka ingin memastikan budidayanya dilakukan dengan baik dan minim bahan kimia,” tambahnya.
Selain memeriksa praktik lapangan, Valrhona juga membawa sampel biji kakao Berau ke laboratorium di Singapura untuk memastikan bebas logam berat.
Setelah dinyatakan aman, kerja sama ekspor dijalankan melalui PT Katulistiwa Agro Serasi Sentosa (KASS), perusahaan pengumpul biji kakao milik warga lokal.
Baca Juga: Berau Masih Impor Pangan, DPRD Desak Pemkab Evaluasi Total Sektor Pertanian
Sebagian petani Berau masih menjual biji kakao basah ke perusahaan pengumpul.
Disbun terus mendorong petani agar mampu melakukan fermentasi sendiri karena nilai jualnya lebih tinggi.
“Kami sudah bantu alat fermentasi dan tempat jemur. Kalau petani bisa fermentasi sendiri, harga jualnya jauh lebih bagus,” ujarnya.
Nama Berau sudah dikenal di tingkat nasional. Tahun 2023, daerah ini meraih juara lomba biji kakao fermentasi tingkat nasional.
Tahun berikutnya, kakao Berau kembali masuk dalam sembilan besar kakao terbaik Indonesia yang dikirim ke ajang Cocoa of Excellence di Italia.
Meski begitu, tantangan tetap ada. Harga kakao di tingkat petani masih berfluktuasi, sempat mencapai Rp 120 ribu per kilogram dan kini turun di kisaran Rp 70 ribu hingga Rp 100 ribu.
Kondisi itu membuat sebagian petani beralih ke komoditas lain seperti sawit.
“Dulu Kampung Semanting itu kebun cokelat semua, sekarang tinggal sedikit,” ucapnya.
Untuk menjaga semangat petani, pihaknya berupaya menghadirkan kebanggaan melalui keberhasilan ekspor.