PONTIANAK - Ketua DPRD Kota Pontianak Satarudin minta Dinas Tenaga Kerja bisa merespon soal tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) se Kalimantan. Dari angka se Kalbar itu, diharap tidak berimbas banyak untuk PHK di Kota Pontianak.
“Dari data resmi Kementerian Ketenagakerjaan mencatat angka Kalbar paling banyak PHK. Dari data itu total ada 1.869 kasus PHK periode Januari hingga Juni ini. Alhasil, Kalbar tertinggi se-Kalimantan untuk kasus PHK ini,” ungkap Satarudin kepada Pontianak Post.
Menurutnya, Pemkot Pontianak melalui Dinas Tenaga Kerja mesti merespon data dari Kementerian Tenaga Kerja ini. Sebab dari 1.869 kasus PHK, apakah ada kejadian juga di Kota Pontianak. Jika kejadian PHK di Kota Pontianak angkanya tinggi, sudah semestinya Dinas Tenaga Kerja melakukan intervensi. Sebab jika angka pengangguran di Pontianak tinggi, skema dalam upaya menurunkan angka pengangguran harus dijalankan.
Seperti pembukaan lowongan kerja di job fair lalu, dipandangnya belum diketahui laporan dari Dinas Tenaga Kerja untuk lanjutannya. Apakah betul, benar-benar mampu menyerap tenaga kerja di Pontianak, atau justru hanya program tahunan yang mesti dijalankan namun dampaknya belum terasa oleh para pencari kerja.
Dia melanjutkan untuk menumbuhkan lowongan kerja di Pontianak, sudah semestinya Pemkot mempermudah investor untuk menanamkan modalnya di Kota Pontianak. Namun jika penanaman modal di kota ini birokrasinya lamban, dipastikan dia para investor akan berpikir dua kali untuk menginvestasikan usahanya di kota ini.
Jika ini yang terjadi, bagaimana Pontianak mampu menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Tak bisa ditutupi lanjutnya, Pemkot Pontianak juga banyak terbantu dari sektor UMKM dan usaha kecil yang kian berkembang.
“Dari sektor UMKM masyarakat justru mampu menopang perekonomian mereka. Bahkan tak sedikit, mereka juga mampu merekrut pekerja. Sama juga dengan usaha warkop dan kafe menengah. Dari sini juga menyumbang peningkatan lapangan pekerjaan baru. Saya berharap Pemkot juga mampu menarik investor dari luar untuk menanamkan modalnya di sini,” ujarnya.
Syeti, pencari kerja yang baru lulus sarjana mengungkap saat ini untuk mencari kerja sulit. Terutama di Pontianak. Kalaupun ada lapangan pekerjaan hanya part time di kafe. Seperti penjaga warung kopi dan barista.
Kalaupun ada lowongan administrasi spesifikasi jurusan justru tidak sesuai sama gelarnya. Ujungnya gagal di wawancara. “Kalau pemerintah bilang angka pengangguran itu turun mungkin bisa di cek di lapangan. Mungkin sekarang malah makin banyak pengangguran. Dari delapan teman, lima orang masih nganggur. Mereka ini lulusan baru semua,” ujarnya.
Ada lagi cerita dari temannya, terhambat pembuatan SKCK dikarenakan BPJS nya menunggak. Untuk melunasi BPJS ini harus bayar dengan nilai jutaan. “Kalau seperti ini sulit cari kerja. Sebab salah satu syarat kerja itu SKCK,” ujarnya.
Sebelumnya Kalimantan Barat mencatat angka pemutusan hubungan kerja (PHK) tertinggi se-Kalimantan dengan total 1.869 kasus selama periode Januari hingga Juni 2025. Angka tersebut juga menempatkan provinsi ini sebagai provinsi keenam tertinggi PHK pada periode tersebut.
Data tersebut diambil dari situs resmi Kementerian Ketenagakerjaan satudata.kemnaker.go.id. Dibandingkan provinsi lainnya di Kalimantan, selisihnya relatif mencolok. Kalimantan Timur mencatat 1.460 kasus, disusul Kalimantan Selatan 1.008, Kalimantan Tengah 99, serta Kalimantan Utara 29 kasus.
Jika dibandingkan dengan total nasional sebesar 42.385 kasus, Kalbar berkontribusi sekitar 4,41 persen. Meski terkesan kecil dalam skala nasional, dampaknya dirasakan besar secara regional.
Ketua Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Kalbar, Suherman, menyebut angka PHK ini tak lepas dari dampak penutupan atau pengurangan tenaga kerja di sejumlah perusahaan besar di Kalbar, seperti PT Erna, PT Alas Kusuma, hingga Transmart.(*)